KECERDASAN DAN PERBEDAAN INDIVIDU DALAM
KOGNITIF
Oleh: Margi Asih, S.Pd.
KECERDASAN
Kecerdasan atau inteligensi
berasal dari bahasa latin “intelligere”
yaitu menghubungkan atau menyatukan satu sama lain. Dalam bahasa inggris
pengertian inteligensi yaitu to organize,
to relate, to bind together. Inteligensi ialah daya menyesuaikan diri
dengan keadaan baru dengan mempergunakan alat-alat berpikir menurut tujuannya
(Kamus Paedagogik dalam Walgito, 1997:133). Menurut Stern inteligensi adalah
kesanggupan jiwa untuk dapat menyesuaikan diri dengan cepat dan tepat dalam
suatu situasi yang baru (Sujanto, 2004:66). Kecerdasan yaitu kemampuan untuk
menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar dengan tepat dan serasi (Mahmud,
1989:89). Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa inteligensi atau
kecerdasan adalah suatu usaha yang dilakukan oleh individu untuk menyesuaikan
diri sesuai dengan situasi yang di alami.
Ketika digunakan untuk
menjelaskan orang, kecerdasan atau inteligensi mengacu pada perbedaan
individual dalam keterampilan memecahkan masalah dan kemampuan dalam
menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Dalam masyarakat di Negara Kenya
menganggap perilaku cerdas terkait dengan keikutsertaan tanggung jawab dalam
kehidupan keluarga dan sosial. Di Negara Uganda, seseorang dikatakan cerdas
apabila bisa melakukan perilaku yang tepat dalam situasi tertentu, misalnya ketika
menghadapi hewan anjing galak, yang harus dilakukan yaitu menunduk dan
mengambil batu. Dalam masyarakat Papua Nugini, seseorang dapat dikatakan cerdas
apabila dapat mengingat nama-nama 10.000 hingga 20.000 suku yang ada. Lain lagi
pada penduduk di Kepulauan Caroline, penduduk cerdas yaitu dapat menentukan
arah berdasarkan letak bintang. Namun, dalam masyarakat Amerika kecerdasan
sering kali dianggap sebagai kemampuan untuk melakukan sesuatu yang baik dan
bertujuan dalam tugas-tugas kognitif, menyesuaikan masalah, dan belajar dari
pengalaman. Banyak asumsi mengenai kecerdasan di dunia, namun hal terpenting
mengenai kecerdasan yaitu proses menyesuaikan diri dengan keadaan atau situasi
yang ada.
Pada kasus anak dengan
keterbatasan mental, Max adalah anak yang berumur 22 tahun dengan keterbatasan
mental. Ia tidak dapat melakukan tugas-tugas secara kognitif dengan baik, dan
ketika mampu menyelesaikannya Max memerlukan waktu yang cukup lama dibandingkan
anak seusianya. Namun, Max dapat memainkan piano dengan melodi dan nada yang
sempurna. Hal ini tentu membuat heran, bagaimana anak yang keterbatasan mental
mampu memainakan piano dengan kemampuan yang luar biasa? Pada kasus ini dapat
di uraikan jawabannya setelah memahami apa itu kecerdasan dan pengukuran
kecerdasan.
Pendekatan
psikometrik
Pada
pendekatan psikometrik akan membahas mengenai teori-teori yang menggambarkan kecerdasan sebagai faktor
umum serta teori-teori yang termasuk faktor spesifik. Psychometricians adalah
psikolog yang mengkhususkan diri dalam mengukur psikologis karakteristik
seperti kecerdasan dan kepribadian. Penggunaan uji psikometri sebagai pilihan, dewasa ini sangat
mapan. Uji psikometri ini dapat memberikan informasi obyektif tentang
keterampilan kepada seseorang dengan bidangnya yang berbeda-beda, misalnya
dengan memperluas pengetahuan, motivasi, kepribadian dan potensi-potensi
mereka. Dapat dikatan
bahwa pendekatan psikometrik lebih mengarah pada kecerdasan dan kepribadian
anak.
Teori kecerdasan ganda
Gardner’s
Secara
alamiah perkembangan anak berbeda-beda, baik dalam tingkat inteligensi, bakat,
minat, kreativitas, kematangan emosi, kepribadian, keadaan jasmani, dan keadaan
sosialnya. Kecerdasan anak berkaitan dengan perkembangan otak pada diri anak
itu sendiri. Perkembangan neuron pada otak anak dimulai sejak embrio berumur
empat minggu. Selanjutnya perkembangan neuron pada anak memiliki koneksi yang
lebih banyak dibandingkan orang dewasa. Hal ini sependapat dengan Suyadi
(2014:99), otak bayi yang baru lahir hingga usia tiga tahun membuat
koneksi-koneksi baru dengan kecepatan yang luar biasa, khususnya ketika otak
mulai menyerap informasi dari lingkungan. Dapat dikatakan bahwa semakin kaya
lingkungan anak akan stimulasi, semakin banyak dan cepat neuron-neuron pada otak
anak yang akan berkoneksi. Semakin banyak neuron yang berkoneksi, semakin
cepat, mendalam, dan bermakna sebuah pembelajaran.
Perkembangan
kecerdasan anak akan optimal bila terjadi interaksi sosial sesuai dengan
kebutuhan anak pada berbagai tahap perkembangannya. Ada anak yang memiliki
kepintaran di salah satu kecerdasan, tetapi kurang pada kecerdasan yang lain,
sehingga perlunya menyeimbangkan semua kecerdasan majemuk pada anak. Kecerdasan
majemuk dimunculkan oleh seorang psikolog Harvard yang bernama Howard Gardner.
Menurut Gardner dalam Kail (2010:250) kecerdasan majemuk berguna untuk
menyelesaikan masalah-masalah dan membuat cara penyelesaian dalam konteks yang
beragam dan wajar. Beberapa yang termasuk kategori kecerdasan majemuk yaitu: kecerdasan linguistik, kecerdasan
logika-matematis, kecerdasan spasial, kecerdasan musik, kecerdasan
badan-kinestetik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal,
kecerdasan alam, dan kecerdasan eksistensial. Adapun penjelasan
masing-masing kecerdasan majemuk sebagai berikut:
1)
Kecerdasan bahasa atau linguistik, adalah kemampuan
seseorang untuk menyusun pikiran dengan jelas dan mampu menggunakannya secara
kompeten melalui kata-kata secara efektif, baik secara lisan maupun dalam
bentuk tulisan. Kecerdasan linguistik pada anak ditandai dengan anak suka
berbicara, selalu ingin tahu tentang sesuatu hal yang baru, dan sejenisnya.
Anak mengetahui makna dari kata-kata dan memiliki kemampuan untuk menggunakan
kata-kata guna memahami ide-ide baru, dan menggunakan bahasa untuk menyampaikan
ide kepada orang lain.
2)
Kecerdasan logis-matematis, adalah kemampuan untuk
menggunakan angka-angka secara efektif dan berpikir secara nalar, pola berpikir
logis, dan ilmiah. Kecerdasan ini mencakup kepekaan terhadap pola-pola logis
dan hubungannya, pernyataan-pernyataan, dan lain-lain. Ciri yang menonjol pada
anak yang memiliki kecerdasan matematis logis yaitu selalu ingin tahu dan
bertanya tentang angka dan anak mampu memahami hubungan yang ada di antara
benda-benda, ide, atau tindakan.
3)
Kecerdasan spasial, yaitu kemampuan melihat suatu objek
dengan sangat detail. Anak mempunyai kemampuan yang tinggi dibidang pengamatan
dan kemampuan untuk berpikir, punya kemampuan membayangkan ruang, melukiskan
kembali, mengubah atau memodifikasi bayangan melalui ruangan. Kecerdasan ini
mencakup kepekaan terhadap warna, garis, bentuk, wujud, ruang, dan
hubungan-hubungan dalam semua unsur-unsur.
4)
Kecerdasan musikal, yaitu kemampuan untuk menyimpan nada,
mengingat irama, mengubah, dan mengekspresikan bentuk-bentuk musik. Kecerdasan
ini mencakup kepekaan terhadap ritme, tingkat nada dan melodi, warna suara dari
suatu karya musik. Anak yang memiliki kecerdasan musikal memiliki kemampuan
yang tinggi dalam menangkap aspek bunyi secara mendalam dan peka terhadap suara.
Biasanya anak senang pada irama musik baik ketika belajar maupun beraktivitas
yang lain.
5)
Kecerdasan kinestetik, yaitu kemampuan olah tubuh anak dalam
mengekspresikan gagasan dan emosi melalui gerakan, termasuk kemampuan untuk
menangani suatu benda dengan cekatan dan membuat sesuatu. Kecerdasan ini
mencakup keahlian-keahlian fisik khusus seperti koordinasi, keseimbangan,
ketangkasan, kekuatan, kecepatan, kelenturan, dan daya tahan. Ciri anak yang
memiliki kercerdasan ini adalah anak memiliki kebiasaan yang suka bergerak,
suka menyentuh segala sesuatu, bermain dengan jari, dan menari.
6)
Kecerdasan interpersonal, yaitu kemampuan anak untuk
memahami dan berinteraksi dengan orang lain secara efektif. Anak memiliki
kepekaan terhadap ekspresi-ekspresi wajah, suara, dan mampu untuk membedakan
berbagai tanda interpersonal. Kecerdasan ini menunjukkan anak dalam memahami
makna kerja sama dan komunikasi. Anak yang memiliki kecerdasan ini biasanya
sangat pandai dalam bergaul, dan memiliki banyak teman.
7)
Kecerdasan intrapersonal, yaitu kesadaran dalam diri dan
kemampuan untuk beradaptasi sesuai dasar dari pengetahuan dan bertanggung jawab
terhadap kehidupannya sendiri. Anak yang memiliki kecerdasan ini biasanya suka
bekerja sendiri tanpa merepotkan orang lain.
8)
Kecerdasan naturalis, yaitu kemampuan anak untuk menjadikan
alam sekitar sebagai perhatian utamanya. Anak yang memiliki kecerdasan ini
biasanya mencintai alam, binatang, dan tanaman.
9) Kecerdasan
eksistensial, yaitu kemampuan untuk merasakan kehadiaran Tuhan. Anak yang memiliki
kecerdasan ini biasanya mengikuti orang tuanya untuk sholat, mengaji, dan
memberikan sumbangan terhadap orang yang tidak mampu.
Teori
Sternberg’s tentang successful
intelligence
Menurut
Sternberg’s, successful intelligence
yaitu penggunaan kemampuan analitik untuk menganalisis masalah dan menghasilkan
solusi, kemampuan kreatif untuk menghadapi adaptif dengan situasi baru, dan
kemampuan praktis untuk mengetahui solusi apa yang akan bekerja (Kail, 2010:
252). Berikut penjelasan bentuk kecerdasan menurut Sternberg’s yaitu:
1) Kecerdasan
analitik: kemampuan untuk menganalisis, melakukan penilaian, evaluasi,
perbandingan, dan membedakan.
2)
Kecerdasan kreatif: kemampuan untuk menciptakan, merancang,
menemukan, membuat sesuatu yang original, dan membayangkan.
3) Kecerdasan
praktis: kemampuan untuk menggunakan, menerapkan, mengimplementasikan, dan
menerjemahkan gagasan dalam tindakan.
Dapat dikatakan bahwa kecerdasan pada anak sangat penting,
karena akan berkaitan bagaimana anak mampu menyesuikan diri dan mengatasi
masalah dengan mencari solusi yang tepat. Penyesuaikan pemecahan masalah
berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga perlunya
memberikan treatment-treatment
tertentu guna merangsang pola pikir anak. Treatment-treatment
yang dapat dilakukan seperti memberikan perhatian lebih, penjelasan secara baik
ketika anak bertanya, dan memberikan keterampilan gerak baik motorik kasar dan
halus sesuai usianya.
MENGUKUR
KECERDASAN
Pengukuran
kecerdasan biasanya dicapai melalui pengukuran menggunakan test kecerdasan. Skors
test kecerdasan seseorang dapat digunakan menjadi pengukuran yang luar biasa. Test
kecerdasan mempunyai dua kecenderungan yang paralel, pertama kecenderungan
kearah performance tests dan kedua
kecenderungan kearah verbal tests. Performance tests dapat diartikan test
yang diberikan test guna mengetahui kemampuan atau keterampilan dan bakat yang
dimiliki oleh anak, sedangkan verbal
tests yaitu test yang diberikan dalam bentuk instruksi-instruksi kata-kata.
Pada sebuah kasus yang terjadi di amerika, Charlene adalah
anak kelas tiga dan mengikuti test kecerdasan yang diberikan psikolog
disekolahnya. Berdasarkan nilai test kecerdasan, psikolog percaya bahwa
Charlene adalah anak yang mengalami keterbelakangan mental dan harus menerima
pendidikan khusus. Orang tua Charlene marah ketika mengetahui anaknya mengalami
kerterbelakangan mental, dan orang tuanya tidak percaya akan hal tersebut
karena orang tuanya percaya anaknya berperilaku layaknya anak seusianya dan
kemampuan belajarnya juga baik. Dari kasus ini, akan ada jawaban yang dapat
dijelaskan secara teoritis mengenai kasus yang terjadi pada Charlene.
Binet
dan perkembangan test kecerdasan
Pada tahun 1904, Kementerian
Pendidikan Prancis meminta psikolog Alfred Binet untuk membuat sebuah metode
yang dapat menentukan siswa mana yang tidak akan mendapat manfaat dari
pendidikan di kelas regular. Para pejabat ingin menurunkan jumlah siswa yang
terasa terlalu banyak dengan menempatkan mereka yang dianggap tidak mendapat
manfaat melalui pendidikan regular pada pendidikan khusus. Test inteligensi
dari Binet mula-mula disusun tahun 1905, kemudian mendapatkan bermacam-macam
revisi baik dari Binet sendiri maupun dari ahli lain.
Dalam
tahun 1916 test Binet direvisi dan diadaptasi, revisi test Binet terkenal
dengan Stanford- Binet. Binet
mengembangkan konsep Usia Mental (Mental
Age – MA) yang merupakan tingkat perkembangan mental seseorang dibandingkan
dengan orang lain. Binet berpendapat bahwa anak yang mengalami keterbelakangan
mental akan menunjukkan kinerja seperti anak yang normal yang lebih muda. Ia
mengembangkan norma untuk kecerdasan dengan melakukan test pada 50 anak yang
tidak memiliki keterbelakangan mental antara usia 3 tahun hingga 11 tahun. Anak-anak
yang diduga memiliki keterbelakangan mental diberikan test yang sama, dan
kinerja mereka di bandingkan dengan anak normal yang sama usia kronologisnya. Rerata
usia mental (MA) berkaitan dengan usia kronologisnya (Chronological
Age - CA) yang merupakan usia seseorang dari hari kelahirannya.
Contoh:
Seorang anak A berusia 6 tahun (CA) dan memiliki usia mental
8 tahun (MA) maka akan memiliki IQ sebesar 133, sedangkan anak B berusia 6
tahun (CA) dan memiliki usia mental 5 tahun (MA) maka akan memiliki IQ sebesar
83.
Dari contoh di atas dapat dikatakan bahwa anak A yang
memiliki IQ 133 tergolong dalam anak yang memiliki IQ di atas rata-rata atau
superior sekali, sedangkan anak B yang mendapatkan score nilai IQ 83 tergolong
dalam anak-anak yang memiliki IQ di bawah rata-rata atau bodoh.
Menurut Mahmud, 1989: 96 menyebutkan table distribusi normal
tingkat kecerdasan. Berikut table distribusi normal tingkat kecerdasan yaitu:
IQ
|
Deskripsi
|
Persentasi Populasi
|
180 ke atas
|
Genius
|
1
|
140 - 179
|
Gifted
|
1
|
130 – 139
|
Superior sekali
|
3
|
120 – 129
|
Superior
|
8
|
110 – 119
|
Pandai
|
18
|
90 – 109
|
Rata-rata
|
46
|
80 – 89
|
Bodoh
|
15
|
70 – 79
|
Inferior
|
6
|
50 – 69
|
Moron
|
2
|
20 – 49
|
Imbecile
|
1
|
0 – 19
|
Idiot
|
1
|
Tabel 1
(Sumber: Mahmud, 1989:96)
Keterangan:
Dapat dikatakan bahwa anak yang memiliki cacat mental adalah
anak yang memiliki IQ di bawah 70. Anak-anak yang memiliki IQ ini menderita
amentia atau kurang pikiran.
Idiocy
adalah tingkat dimana anak mengalami lemah pikiran tingkat paling rendah, dan
umur mental tidak pernah melebihi anak umur dua tahun meskipun telah berusia 30
tahun.
Imbecility
adalah tingkatan dimana anak memiliki kecerdasan tidak melebihi kecerdasan anak
umur tujuh tahun.
Moron adalah anak yang memiliki tingkat kecerdasan seperti
umur tujuh tahun sampai sepuluh tahun.
Gifted yaitu
anak yang tidak genius tetapi menonjol dan terkenal.
Genius
adalah bakat dan keistimewaan yang telah terlihat sejak kecil, misalnya sejak
umur dua tahun sudah dapat belajar membaca.
Test
lain yang banyak digunakan adalah skala Wechsler
yang dikembangkan oleh David Wechsler. Termasuk dalam kategori ini adalah Wechsler Preschool and Primary Scale of
Intelligence –III (WPPSI – III) untuk anak usia 4 tahun hingga anak 6 ½ tahun.
Wechsler Intelligence Scale for Children
– IV (WISC –IV) untuk anak-anak dan remaja dari 6 tahun hingga 16 tahun. Test
WISC meliputi subyek lisan atau verbal dan keterampilan. Dari test ini anak
menerima skor IQ secara keseluruhan meliputi pemahaman verbal, penalaran
perceptual, kerja memori, dan kecepatan proses. The Stanford – Binet dan WISC –
IV tidak dapat digunakan untuk menguji
kecerdasan anak bayi. Test untuk bayi yang sering digunakan oleh psikolog yaitu
Bayley Scales yang terdiri dari lima skala: kognitif, bahasa, keterampilan
motorik, sosial-emosional, dan perilaku adaptif.
Jika
skor IQ pada tingkat stabilitas, dapat disimpulkan bahwa skor IQ yang diperoleh
di usia bayi harus dapat digunakan memprediksi skor IQ di usia anak-anak. Namun hal tersebut tidak dapat digunakan
untuk memprediksi skor IQ pada tingkat selanjutnya. Hal ini sependapat dengan
Kopp & McCall (Kail, 2010: 258) tidak sampai 18 atau 24 bulan test yang
dilakukan dapat digunakan untuk memprediksi skor IQ dikemudian. Test pada bayi
lebih menekankan pada sensorimotor, dan kegunaan dari test pada bayi yaitu
sebagai alat diagnose yang pentik untuk meminimalisir kemungkinan buruk yang
terjadi.
Prediksi
terhadap hasil Skor IQ
Menurut
kail, 2010:259 mengatakan skor pada test IQ dapat memprediksi nilai sekolah dan
keberhasilan kerja. Skor IQ merupakan prediksi yang sangat kuat terhadap hasil
perkembangan. Salah satu pendapat menurut Brody (1992), IQ adalah prediksi yang
paling penting dari individu (kail, 2010: 258). Namun pada kasus Charlene,
seorang anak yang mendapat skor dibawah rata-rata dan diprediksi mengalami
keterbelakangan mental, namun prestasi disekolah dapat dikatakan rata-rata dari
kemampuan anak-anak dikelasnya. Menurut Duckwort & Seligman dalam Kail
(2010:259) menyatakan bahwa disiplin diri memprediksi nilai di sekolah yang
lebih baik dari skor IQ yang dilakukan. Menurut Sujanto (2004:66),
faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi yaitu: pembawaan, kematangan,
pembentukan, dan minat. Menurut kail (2010) kecerdasan atau inteligensi
dipengaruhi oleh beberapa kemungkinan yaitu: gen atau keturunan, lingkungan,
budaya atau etnis, dan keadaan sosial-ekonomi.
Berikut ini penjelasan mengenai faktor-fator yang
mempengaruhi kecerdasan yaitu:
1)
Genetika atau keturunan. Tidak ada keraguan bahwa gen-gen
mempengaruhi kecerdasan (plomia dalam King, 2010:32). Hal ini sependapat dengan
Wilson dalam Kail (2010:260) menyatakan keturunan mempengaruhi profil
perkembangan untuk skor IQ anak. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh
ahli psikolog di Amerika menyimpulkan ketika seseorang mencapai tahap
perkembangan remaja akhir, heritabilitas kecerdasan mencapai sekitar 0,75 yang
menunjukkan pengaruh genetika yang sangat kuat (Neisser dalam King, 2010:32). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa keturunan sangat mempengaruhi tingkat kecerdasan
anak.
2)
Lingkungan. Lingkungan yang dimaksudkan lebih mengarah pada
lingkungan keluarga, tempat tinggal, dan keadaan. Menurut Campbell ; King
(2010:33) menyebutkan faktor keturunan genetika memberikan kontribusi pada IQ,
kebanyakan peneliti sepakat bahwa untuk kebanyakan orang, memodifikasi dalam
lingkungan dapat mengubah skor nilai IQ seseorang. Contohnya anak yang mungkin
memiliki kecerdasan di bawah rata-rata, apabila disiplin terhadap jadwal
belajar kemungkinan besar untuk mendapat nilai yang bagus. Hal tersebut
sependapat dengan Duckwort & Seligman dalam Kail (2010:259) menyatakan
bahwa disiplin diri memprediksi nilai di sekolah yang lebih baik dari skor IQ
yang dilakukan. Sebuah penelitian menujukkan indeks heritabilitas dengan
menggunakan teknik statistika korelasi yaitu indeks heritabilitas tertinggi
adalah 1,00 dan korelasi sebesa 0,70 (King, 2010:32). Dengan demikian
lingkungan yang dimodifikasi dan dikondisikan kemungkinan besar dapat mengubah
skor IQ anak.
3)
Budaya atau etnis. Manurut Anastasi & Urbina (1996)
dalam King (2010:31) mengatakan test kecerdasan bervariasi untuk setiap budaya,
karena budaya memiliki pengalaman yang lebih sedikit berhubungan dengan gambar
ataupun foto. Setiap test kecerdasan akan sangat berkaitan dengan budaya,
misalnya pada penggunaan bahasa dalam test kecerdasan.
4)
Keadaan sosial-ekonomi. Anak-anak yang berasal dari tingkat
ekonomi tinggi memungkinkan memiliki tingkat kecerdasan IQ tinggi dibandingkan
anak-anak pada tingkat ekonomi rendah. Hal ini terjadi ketika proses
pembelajaran anak dari tingkat ekonomi atas akan dibelikan banyak buku oleh
orang tuanya sehingga akan menambah wawasan dan pengalaman anak dalam ilmu
pengetahuan dibandingkan dengan anak dari ekonomi rendah.
ANAK
KHUSUS & KEBUTUHAN KHUSUS
Dalam
masyarakat umum, masyarakat telah mengakui anak-anak dengan bakat yang luar
biasa dan anak-anak dengan keterbelakangan mental. Anak-anak yang berbakat
memiliki kecerdasan yang tinggi dengan IQ 130 atau lebih. Menurut Robinson
& Clinkenbeard (1998) dalam Kail (2010:266) menyebutkan bahwa definisi
bakat lebih luas dan mencakup bakat yang luar biasa dalam berbagai bidang,
termasuk seni, music, menulis kreatif, dan tari. Lewis (1925) melakukan sebuah penelitian
terhadap 1500 anak yang memiliki skor rata-rata IQ Stanford-Binet 150, dan
menempatkan mereka menjadi kelompok 1 persen tertinggi. Anak yang berbakat
sangat jarang terjadi, hal ini tentu bukan terjadi secara sendirinya. Anak
berbakat kemungkinan besar sangat dipengaruhi oleh keturunan atau gen,
lingkungan, budaya dan sosial- ekonomi. Anak dengan bakat yang luar biasa
haruslah dipupuk dengan diberikan dukungan dan dorongan dari orang tuanya, agar
bakat yang anak miliki tidak luntur atau hilang. Anak-anak berbakat sering
dianggap stereotip, yaitu tidak dapat
menahan emosional, tidak dapat bergaul, serta cenderung sombong. Namun faktanya
adalah anak-anak dengan bakat yang luar biasa justru memiliki pemikiran dan
tingkat emosional dewasa, sehingga lebih banyak berhubungan dengan banyak orang
dan mudah bergaul.
Anak
yang memiliki kreativitas termasuk dalam anak khusus. Hal ini dijelaskan dalam
Kail (2010:267) yaitu anak dengan kreativitas dikaitkan dengn pemikiran
divergen, dimana tujuannya adalah bukan jawaban yang benar (lebih dari satu).
Menurut Kogan dalam Kail (2010:267), anak-anak kreativitas memiliki cara
berpikir divergen yaitu menghasilkan banyak ide dalam menanggapi beberapa rangsangan
tertentu. Beberapa panduan untuk mambantu anak-anak agar lebih kreatif yaitu:
1) Mendorong
anak untuk berani mengambil resiko
2)
Memberikan dorongan anak untuk memikirkan alternatif lain.
3)
Memberika pujian kepada anak atas usaha kerasnya.
4) Membantu
anak untuk dengan meyakinkan bahwa dia lebih kreatif.
Anak-anak dengan keterbelakangan mental adalah anak-anak
dalam kondisi kemampuan mental terbatas dimana seorang individu memiliki IQ
yang rendah, biasanya di bawah 70 dalam test kecerdasan, dan memiliki kesulitan
untuk beradaptasi pada kehidupan sehari-hari; ia mungkin pertama akan
memunculkan cirri-ciri ini pada masa-masa perkembangan pada usia 18 tahun
(King, 2010:36). Hal ini sependapat dengan Detterman, Gabriel, & Ruthsatz
(2000) dalam Kail (2010:268), hanya orang-orang yang berada di bawah umur 18
tahun, mengalami masalah di beberapa area, dan skor iQ dari 70 atau kurang
dianggap keterbelakangan mental. Dengan demikian anak-anak yang mengalami
keterbelakangan mental memiliki nilai skor IQ dibawah rata-rata dan sulit
beradaptasi dengan lingkungan.
Keterbelakangan mental mungkin disebabkan oleh faktor
organik, atau dapat juga disebabkan karena faktor sosial dan budaya (Hodapp
&Dykens, 2006 dalam King, 2010:36). Keterbelakangan mental adalah
keterbelakangan mental yang disebabkan oleh kelainan genetika atau kerusakan
otak. Salah satu bentuk keterbelakangan mental organik yaitu down syndrome. Down syndrome terjadi karena ada kelebihan kromoson pada anak. Anak
yang mengalami down syndrome mungkin
tidak akan pernah berhasil untuk mencapai prestasi akademik yang luar biasa
seperti yang dilakukan para siswa berbakat. Namun, anak down syndrome mungkin mampu untuk membangun hubungan yang hangat
dan dekat dengan orang lain, menjadi inspirasi bagi orang-orang yang
mencintainya, dan memberikan senyuman pada sebuah hari yang mendung (Poehlman
dalam King, 2010:37). Anak dengan keterbelakangan mental sosial-budaya adalah
hambatan mental dimana tidak terdapat kerusakan biologis. Individu dengan jenis
keterbelakangan mental sosial-budaya memiliki IQ antara 55 – 70. Para psikolog menduga bahwa hambatan mental
sosial - budaya sebagian disebabkan karena tumbuh kembang anak dalam lingkungan
keluarga yang tingkat intelektualnya ada dibawah rata-rata. Sebagian anak-anak
yang mengalami keterbelakangan mental sosial-budaya dapat di identifikasi di
sekolah, anak sering mengalami kegagalan dan membutuhkan penguatan yang lebih
besar.
Anak-anak dengan ketidakmampuan belajar atau sering disebut
disabilitas, yaitu anak mengalami kesulitan dalam membaca. Disabilitas
disebabkan oleh kesadaran fonologi, dimana anak mengalami kesulitan dalam
pemahaman dan menggunakan suara dalam bahasa lisan maupun tulisan. Dengan
demikian upaya yang dapat dilakukan adalah latihan terhadap vokal suara dan
tulisan.
Pembahasan
Kasus
Kasus
pertama:
Pada kasus anak dengan keterbatasan mental,
Max adalah anak yang berumur 22 tahun dengan keterbatasan mental. Ia tidak
dapat melakukan tugas-tugas secara kognitif dengan baik, dan ketika mampu
menyelesaikannya Max memerlukan waktu yang cukup lama dibandingkan anak
seusianya. Namun, Max dapat memainkan piano dengan melodi dan nada yang
sempurna. Hal ini tentu membuat heran, bagaimana anak yang keterbatasan mental
mampu memainakan piano dengan kemampuan yang luar biasa?.
Jawaban:
Keterbelakangan
mental mungkin disebabkan oleh faktor organik, atau dapat juga disebabkan
karena faktor sosial dan budaya (Hodapp &Dykens, 2006 dalam King, 2010:36).
Keterbelakangan mental adalah keterbelakangan mental yang disebabkan oleh
kelainan genetika atau kerusakan otak. Salah satu bentuk keterbelakangan mental
organik yaitu down syndrome. Down syndrome terjadi karena ada
kelebihan kromoson pada anak. Anak yang mengalami down syndrome mungkin tidak akan pernah berhasil untuk mencapai
prestasi akademik yang luar biasa seperti yang dilakukan para siswa berbakat.
Namun, anak down syndrome mungkin
mampu untuk membangun hubungan yang hangat dan dekat dengan orang lain, menjadi
inspirasi bagi orang-orang yang mencintainya, dan memberikan senyuman pada
sebuah hari yang mendung (Poehlman dalam King, 2010:37). Anak dengan
keterbelakangan mental sosial-budaya adalah hambatan mental dimana tidak
terdapat kerusakan biologis. Individu dengan jenis keterbelakangan mental
sosial-budaya memiliki IQ antara 55 – 70.
Para psikolog menduga bahwa hambatan mental sosial - budaya sebagian
disebabkan karena tumbuh kembang anak dalam lingkungan keluarga yang tingkat
intelektualnya ada dibawah rata-rata. Sebagian anak-anak yang mengalami
keterbelakangan mental sosial-budaya dapat di identifikasi di sekolah, anak
sering mengalami kegagalan dan membutuhkan penguatan yang lebih besar.
Dengan demikian, Max termasuk
dalam anak keterbelakangan mental yang disebabkan oleh genetika, hal ini Max
tidak dapat melakukan tugas-tugas secara kognitif dengan baik, dan ketika mampu
menyelesaikannya Max memerlukan waktu yang cukup lama dibandingkan anak
seusianya.
Kasus kedua:
Pada
sebuah kasus yang terjadi di amerika, Charlene adalah anak kelas tiga dan
mengikuti test kecerdasan yang diberikan psikolog disekolahnya. Berdasarkan
nilai test kecerdasan, psikolog percaya bahwa Charlene adalah anak yang
mengalami keterbelakangan mental dan harus menerima pendidikan khusus. Orang
tua Charlene marah ketika mengetahui anaknya mengalami kerterbelakangan mental,
dan orang tuanya tidak percaya akan hal tersebut karena orang tuanya percaya
anaknya berperilaku layaknya anak seusianya dan kemampuan belajarnya juga baik.
Jawaban: Berikut
ini penjelasan mengenai faktor-fator yang mempengaruhi kecerdasan yaitu:
1.
Genetika atau keturunan. Tidak ada keraguan bahwa gen-gen
mempengaruhi kecerdasan (plomia dalam King, 2010:32). Hal ini sependapat dengan
Wilson dalam Kail (2010:260) menyatakan keturunan mempengaruhi profil
perkembangan untuk skor IQ anak. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh
ahli psikolog di Amerika menyimpulkan ketika seseorang mencapai tahap
perkembangan remaja akhir, heritabilitas kecerdasan mencapai sekitar 0,75 yang
menunjukkan pengaruh genetika yang sangat kuat (Neisser dalam King, 2010:32).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keturunan sangat mempengaruhi tingkat
kecerdasan anak.
2.
Lingkungan. Lingkungan yang dimaksudkan lebih mengarah pada
lingkungan keluarga, tempat tinggal, dan keadaan. Menurut Campbell ; King
(2010:33) menyebutkan faktor keturunan genetika memberikan kontribusi pada IQ,
kebanyakan peneliti sepakat bahwa untuk kebanyakan orang, memodifikasi dalam
lingkungan dapat mengubah skor nilai IQ seseorang. Contohnya anak yang mungkin
memiliki kecerdasan di bawah rata-rata, apabila disiplin terhadap jadwal
belajar kemungkinan besar untuk mendapat nilai yang bagus. Hal tersebut
sependapat dengan Duckwort & Seligman dalam Kail (2010:259) menyatakan
bahwa disiplin diri memprediksi nilai di sekolah yang lebih baik dari skor IQ
yang dilakukan. Sebuah penelitian menujukkan indeks heritabilitas dengan
menggunakan teknik statistika korelasi yaitu indeks heritabilitas tertinggi
adalah 1,00 dan korelasi sebesa 0,70 (King, 2010:32). Dengan demikian
lingkungan yang dimodifikasi dan dikondisikan kemungkinan besar dapat mengubah
skor IQ anak.
3.
Budaya atau etnis. Manurut Anastasi & Urbina (1996)
dalam King (2010:31) mengatakan test kecerdasan bervariasi untuk setiap budaya,
karena budaya memiliki pengalaman yang lebih sedikit berhubungan dengan gambar
ataupun foto. Setiap test kecerdasan akan sangat berkaitan dengan budaya,
misalnya pada penggunaan bahasa dalam test kecerdasan.
4.
Keadaan sosial-ekonomi. Anak-anak yang berasal dari tingkat
ekonomi tinggi memungkinkan memiliki tingkat kecerdasan IQ tinggi dibandingkan
anak-anak pada tingkat ekonomi rendah. Hal ini terjadi ketika proses pembelajaran
anak dari tingkat ekonomi atas akan dibelikan banyak buku oleh orang tuanya
sehingga akan menambah wawasan dan pengalaman anak dalam ilmu pengetahuan
dibandingkan dengan anak dari ekonomi rendah.
Dari
kasus Charlene dan apa yang telah disampaikan orang tuanya, jika Charlene berperilaku
layaknya anak seusianya dan kemampuan belajarnya juga baik, maka yang terjadi
adalah bukan disebabkan oleh faktor genetika, dan Charlene tidak nyaman dengan
tempat test intelligence yang diikutinya, serta secara tidak langsung
faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan mempengaruhi terhadap hasil skor
test kecerdasan.
DAFTAR
PUSTAKA
Kail,
V Robert. (2010). Children and their
development: fifth edition. Amerika: The united states of amerika.
King,
Laura A. (2010). Psikologi umum; sebuah
pandangan apresiatif. Jakarta: Penerbit salemba humanika.
Mahmud,
Dimyati. (1989). Psikologi suatu
pengantar. Jakarta: Departemen pendidikan dan kebudayaan direktorat
jenderal pendidikan tinggi proyek pengembangan lembaga pendidikan tenaga
kependidikan.
Sujanto,
Agus. (2004). Psikologi umum.
Jakarta: Bumi aksara.
Suyadi.
(2014). Teori pembelajaran anak usia
dini:dalam kajian neurosains. Bandung: PT. Remaja rosdakarya offset.
Walgito,
Bimo. (1997). Pengantar psikologi umum.
Yogyakarta: Penerbi andi offset.
Betway Casino app and mobile app - JTM Hub
BalasHapusWe're excited 청주 출장안마 to bring you Betway Casino - 당진 출장마사지 the 익산 출장마사지 best Online Sports 동해 출장샵 Betting and Gaming app for 전주 출장샵 your mobile device. We know your