Sabtu, 03 Oktober 2015

IDE (GAGASAN) MENGENAI PEMBELAJARAN

IDE (GAGASAN) MENGENAI PEMBELAJARAN
Oleh:
Margi Asih, S.Pd.



Ide adalah sebuah rancangan yang tersusun didalam pikiran atau gagasan. Ide inilah yang mendasari mengenai pembelajaran. Belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi perubahan tingkah laku dalam dirinya. Perubahan tingkah laku tersebut menyangkut yang bersifat pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor), dan sikap (afektif). Ide atau gagasan mengenai belajar dan pembelajaran terbagi menjadi tiga, yaitu rasionalisme, empirisme, dan konstruktivisme.
Rasionalisme adalah paham yang menekankan sumber pengetahuan berasal dari akal atau pikiran, sehingga pikiran akan berperan secara aktif dalam penyampaian informasi mengenai pengetahuan. Empirisme adalah suatu paham yang menekankan sumber pengetahuan berasal dari pengalaman indriawi. Konstruktivisme adalah suatu paham yang lebih memahami belajar sebagai kegiatan membangun atau menciptakan pengetahuan dari pikiran secara aktif dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalaman indriawi serta adanya interaksi dengan lingkungan.
Proses belajar dan pembelajaran akan menjadi lebih baik secara pengetahuan, karakter,psikologi dan psikomotor, jika adanya pemahaman tentang ide atau gagasan mengenai pembelajaran. Belajar merupakan pembentukan kebiasaan yang terjadi karena adanya interaksi antara organisme dan lingkungan sehingga mampu mengakibatkan perubahan perilaku organisme tersebut, sehingga belajar adalah proses penting dalam kehidupan.

Kata kunci: Rasionalisme, Empirisme, dan Konstruktivisme

PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling sempurna. Manusia dibekali akal dan pikiran. Dengan akal dan pikiran manusia dapat belajar tentang hal-hal yang  berkaitan dengan kelangsungan hidupnya. Manusia belajar sejak lahir hingga akhir hayat dan kehidupan manusia tidak lepas dari yang namanya belajar. Ini disebabkan oleh rasa ingin tahu manusia yang tinggi, dengan rasa ingin tahu ini setiap orang pasti punya usaha untuk belajar demi mencapai tujuan. Seorang bayi mencoba mengusai keterampilan-keterampilan yang sederhana seperti memegang berbagai benda dan mengenal orang di sekelilingnya. Pada masa anak-anak dan remaja, sejumlah sikap, nilai, kemampuan diri mulai dikuasai, dan setelah dewasa manusia akan mahir dalam aktivitas tertentu. Kemampuan manusia untuk belajar merupakan karakteristik penting yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Belajar mempunyai keuntungan, baik bagi individu maupun masyarakat. Bagi individu, kemampuan belajar secara terus-menerus akan meningkatkan kualitas hidupnya, sedangkan bagi masyarakat belajar berperan penting dalam mentransmisikan budaya dan pengetahuan dari generasi ke generasi selanjutnya.
Belajar adalah suatu aktivitas seseorang untuk mencapai kepandaian atau ilmu yang tidak dimiliki sebelumnya (Rahyubi, 2012: 2). Belajar merupakan sebuah proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang dan berlangsung seumur hidup, sejak masih bayi hingga liang lahat. Salah satu pertanda bahwa seseorang telah belajar adalah adanya perubahan tingkah laku dalam dirinya. Perubahan tingkah laku tersebut menyangkut yang bersifat pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor), dan sikap (afektif) (Siregar, 2011: 3). Belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman (Purwanto dalam Thobroni, 2013: 20). Pendapat di atas dapat disimpulkan belajar adalah salah satu usaha yang dilakukan untuk mencapai perubahan yang relatif tetap, baik perubahan pengetahuan dan perubahan sikap maupun perubahan keterampilan.
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik (Rahyubi, 2012: 6). Pembelajaran tidak hanya dialami oleh peserta didik melainkan semua manusia sepanjang hayat, serta berlaku di mana pun dan kapan pun. Proses pembelajaran akan membuat manusia menjadi insane yang lebih baik, berkarakter, memiliki keahlian, dan berguna bagi masyarakat luas. Dalam proses belajar dan pembelajaran perlu adanya rekayasa sistem lingkungan yang mendukung. Penciptaan sistem lingkungan yaitu menyiapkan kondisi lingkungan yang kondusif bagi peserta didik. Kondisi dapat berupa sejumlah tugas-tugas sekolah, menyediakan sarana dan prasarana sekolah. Berikut adalah skema proses belajar dan hasil akhir yang seharusnya dicapai (Rahyubi, 2012: 4).
Dalam memahami suatu pembelajaran, tentu akan timbul suatu pertanyaan, Apa yang mendasari atau gagasan dalam pembelajaran?, Bagaimana epistimologi gagasan awal dalam pembelajaran?, Apa pengaruhnya terhadap teori-teori belajar?. Menurut Hergenhahn dan Olson (2014: 30) dalam bukunya “The Teories of Learning” mengatakan dua pandangan yang mendasari gagasan awal tentang belajar yakni pandangan Plato dan Aristoteles. Plato percaya bahwa pengetahuan adalah diwariskan, dan karenanya merupakan komponen natural dari pikiran manusia. Menurut plato, seseorang mendapatkan pengetahuan dengan merenungi isi dari pikiran seseorang. Aristoteles percaya bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman indriawi dan tidak diwariskan. Meskipun Plato percaya bahwa pengetahuan diwariskan dan Aristoteles percaya bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman indriawi, keduanya menunjukan contoh dari rationalism (rasionalisme) karena keduanya percaya bahwa pikiran secara aktif terlibat dalam perolehan pengetahuan.
Pandangan Plato dan Aristoteles mengenai hakikat pengetahuan berperan penting dalam sejarah teori belajar dan pembelajaran. Tujuan dari mempelajari ide atau gagasan awal dalam pembelajaran untuk mengetahui, memahami, dan mengimplementasikannya dalam kegiatan belajar dan pembelajaran khususnya penjasorkes.


PEMBAHASAN
Epistemology Gagasan Awal dalam Pembelajaran
Epistemology mengacu pada studi tentang asal mula, karakteristik, batasan, dan metode pengetahuan (Schunk, 2012: 6). Epistemology (epistemologi) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan hakikat pengetahuan. Epistemolog mengajukan pertanyaan seperti apa itu pengetahuan? Apa yang bisa kita tahu? Apa batas pengetahuan? Darimana asal pengetahuan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah ada sejak masa Yunani Kuno. Pandangan Plato dan Aristoteles tentang hakikat pengetahuan telah mempengaruhi filsafat hingga saat ini. Plato percaya bahwa pengetahuan adalah diwariskan, dan karenanya merupakan komponen natural dari pikiran manusia. Menurut plato, seseorang mendapatkan pengetahuan dengan merenungi isi dari pikiran seseorang. Aristoteles percaya bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman indriawi dan tidak diwariskan (Hergenhahn dan Olson, 2014:30).
Suatu aliran dapat dikatakan rasionalis, empirisme, atau konstruktivisme berdasarkan penekanan karyanya. Rasionalisme adalah paham yang menekankan sumber pengetahuan berasal dari akal atau pikiran secara aktif. Empirisme adalah suatu paham yang menekankan sumber pengetahuan berasal dari pengalaman indriawi. Konstruktivisme adalah suatu paham yang lebih memahami belajar sebagai kegiatan membangun atau menciptakan pengetahuan dari pikiran secara aktif dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalaman indriawi serta adanya interaksi dengan lingkungan. Pandangan inilah yang mendasari ide atau gagasan awal dalam teori belajar sebelum terjadi apa itu belajar, teori belajar, ciri-ciri teori belajar, hasil belajar, maupun masalah dalam pembelajaran. Dari pandangan inilah, kemudian dikembangkan sehingga kegiatan belajar dan pembelajaran lebih efektif, efisien dan inovatif. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso, 2014:173), ide adalah rancangan yang tersusun di dalam pikiran; gagasan. Dapat dikatakan bahwa ide atau gagasan awal dalam pembelajaran adalah adanya rancangan pemikiran dua tokoh besar Plato dan Aristoteles mengenai pandangannya terhadap pengetahuan, sehingga ada aliran pandangan rasionalisme, empirisme, dan konstruktivisme. Dari padangan inilah, dikembangkan menjadi bagian-bagian penting dalam proses pembelajaran yang inovatif, kreatif, dan efektif.
Riwayat Plato dalam Gagasan Awal Rasionalisme
Plato (427-347) adalah murid paling terkenal dari filsuf Socrates (Hergenhahn dan Olson, 2014: 32). Ajaran Socrates ditulis oleh Plato untuk menunjukan pendekatan socratik terhadap pengetahuan dan sebagai kenangan tentang guru besarnya. Belakangan tulisan tersebut merupakan pandangan filsafat Plato sendiri dan tidak ada kaitannya dengan Socrates. Setelah Socrates dihukum mati, Plato mengasingkan diri ke Italia. Pandangannya mulai terpengaruhi oleh kaum Pythagorean. Kaum Ptyhagorean percaya bahwa alam semesta diatur oleh hubungan-hubungan numeric (angka), sehingga pandangan Plato tentang pengetahuan dipengaruhi oleh gagasan Ptyhagorean bahwa hal-hal abstrak memiliki eksistensi tersendiri dan berpengaruh.
Plato meyakini bahwa benda-benda (misalnya rumah, pohon) ditampilkan pada manusia melalaui pancaindra, sementara tiap-tiap individu memperoleh ide-ide dari nalar atau berpikir tentang apa yang mereka ketahui. Pikiran manusia telah terstruktur dari lahir untuk tujuan berpikir dan memberikan makna pada informasi-informasi yang datang dari pancaindra  (Schunk, 2012: 7). Berikut ini  adalah contoh mengenai pandangan Plato, seorang ibu mengatakan pada anaknya tentang apel, maka anak tersebut akan mendengarkan ucapan ibunya dan melihat apel tersebut. Dari contoh tersebut, tentu yang menjadi pertanyaan bagaimana teori atau pandangan Plato berkaitan dengan kejadian tersebut? Bagaimana proses terjadinya respon anak terhadap ucapan ibunya?. Kata “apel” yang diucapkan ibunya akan direspons oleh anaknya melalui organ indra yaitu telinga. Kemudian berlanjut ke sistem saraf pendengaran dan menuju ke otak. Dalam pikiran inilah pandangan kuat Plato, yaitu semua pikiran manusia mengandung pengetahuan lengkap tentang semua ide. Jadi, dalam pikiran anak tersebut akan merasakan sensasi mendengar kata apel dan akan adanya ide untuk melihat apel serta ide untuk merasakan/menyentuh apel tersebut. Rangkaian inilah yang mendasari bahwa introspeksi atau analisis diri terkait didalam proses pengetahuan.
Riwayat Aristoteles dalam Gagasan Awal Empirisme
http://www.ariadnatucma.com.ar/wp-content/uploads/2010/11/Aristoteles.jpg            Aristoteles (384-322 SM) adalah salah satu murid Plato. Pada awalnya menganut ajaran Plato, namun kemudian berbeda pendapat dengan Plato. Perbedaan dasar antara kedua pemikir ini adalah sikap mereka terhadap informasi indriawi. Bagi Plato informasi indrawi itu adalah halangan dan merupakan sesuatu yang tidak bisa dipercaya. Aristoteles menganggap informasi indrawi adalah basis dari semua pengetahuan dan pengetahuan diperoleh dari penalaran atau pemikiran (Hergenhahn dan Olson, 2014:33).
Aristoteles merumuskan law of association (hukum asosiasi), pengalaman atau ingatan akan satu objek cenderung menimbulkan ingatan akan hal-hal yang serupa dengan objek itu (Hergenhahn dan Olson, 2014:34). Makin besar hubungan atau asosiasi antara dua objek atau dua ide, makin besar kemungkinannya ingatan terhadap satu objek atau ide memicu ingatan terhadap objek atau ide yang satunya. Berikut ini contoh mengenai pandangan Aristoteles mengenai pandangannya terhadap pengetahuan, seorang anak yang melihat apel dan anak tersebut ingin merasakan atau menyentuh apel tersebut. Ketika anak melihat apel, organ indra mata dan tangan akan berfungsi menuju ke sistem saraf untuk memberikan perintah ke otak dan dalam pikiran anak tersebut ingin melihat dan menyentuh apel tersebut. Dalam respons indra mata dan tangan inilah pandangan Aristoteles kuat, dimana informasi indriawi adalah basis dari semua pengetahuan. Perbedaan pandangan antara Plato dan Aristoteles terjadi dalam pikiran dan pengalaman pancaindra. Dalam pandangan Plato pikiran manusia akan menimbulkan ide, ide tersebut didapat dari intospeksi sedangkan pandangan Aristoteles dalam pikiran dipengaruhi oleh informasi indriawi.
Riwayat Jean Piaget dan Vygotsky dalam Gagasan Awal Konstruktivisme
Jean Piaget lahir pada 9 Agustus 1896, beliau adalah seorang filsuf, ilmuwan, psikolog, dan pendidik berkebangsaan Swiss yang terkenal karena hasil penelitiannya tentang anak-anak dan teori perkembangan. Menurut Piaget (Baharudin dan Wahyuni, 2009: 117) pengetahuan tumbuh dan berkembang melalui pengalaman dan pemahaman berkembang semakin dalam dan kuat apabila selalu diuji oleh berbagai macam pengalaman baru. Pengalaman baru akan dihubungkan dengan struktur pengetahuan dalam otak manusia. Oleh karena itu, pada saat manusia belajar telah terjadi dua proses yaitu organisasi informasi dan proses adaptasi. Proses organisasi adalah proses ketika manusia menghubungkan informasi yang diterimanya dengan struktur-struktur pengetahuan yang sudah tersimpan atau sudah ada sebelumnya dalam otak, sehingga manusia dapat memahami sebuah informasi baru yang didapatnya dengan menyesuaikan informasi tersebut (Baharudin dan Wahyuni, 2009: 118). Proses adaptasi adalah proses yang menggabungkan pengetahuan yang diterima oleh manusia dan mengubah struktur pengetahuan yang sudah dimiliki dengan struktur pengetahuan baru (Baharudin dan Wahyuni, 2009: 118).
Salah satu konsep dasar pendekatan konstruktivisme dalam belajar adalah adanya interaksi social individu dengan lingkungannya. Menurut Vygotsky (Baharudin dan Wahyuni, 2009: 124), belajar adalah sebuah proses yang melibatkan dua elemen penting, yaitu biologi sebagai proses dasar dan psikososial sebagai proses lingkungan sosial. Pada saat manusia mendapatkan stimulus dari lingkungannya, manusia akan menggunakan fisiknya berupa alat indranya untuk menangkap stimulus tersebut, kemudian menggunakan saraf otak untuk pengolahan informasi.
Dengan demikian, paham konstruktivisme adalah suatu paham yang lebih memahami belajar sebagai kegiatan membangun atau menciptakan pengetahuan dari pikiran secara aktif dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalaman indriawi serta adanya interaksi dengan lingkungan.
Awal Psikologi Modern
Akar-akar teori pembelajaran terentang jauh ke masa lalu. Banyak persoalan dan pertanyaan yang diajukan oleh peneliti modern. Menurut Mueller dalam Schunk (2012: 6) awal mula psikologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan sulit untuk disebutkan secara persis. Dalam buku “Theories Of Learning” disebutkan beberapa tokoh yang mengawali psikologi modern, seperti Descartes, Hobbes, Locke, Berkeley, Kant, Hume, dan Mill, sehingga nantinya dapat diketahui awal psikologi modern.
Rene Descartes
            Rene Descartes (1596-1650), seorang filsuf dan ahli matematika dari Perancis. Descartes menggunakan keraguan sebagai satu metode penelitian. Kenyataan bahwa ia meragukan menuntunnya pada keyakinan bahwa akal (pikiran) itu ada, sebagaimana disampaikan dalam sebuah ungkapan “aku berpikir, maka aku ada” (I think, therefore I am). Descartes membentuk dualisme pikiran dan tubuh. Descartes memandang tubuh manusia seperti mesin yang gerak-geriknya dapat diprediksi; dalam hal ini manusia sama seperti hewan. Descartes percaya bahwa manusia dan hewan secara fisiologi adalah sama, dan studi hewan dalam rangka mempelajari manusia mulai dihargai. Pikiran adalah bebas dan hanya dimiliki oleh manusia saja, sehingga Descartes bersandar pada innate idea (ide bawaan). Menurut Descartes ide bawaan bukan berasal dari pengalaman melainkan dari bagian integral dari pikiran. Dalam hal ini pandangan Descartes ada pengaruh Plato dalam filsafatnya

Thomas Hobbes
Hobbes (1588-1679) menentang gagasan dari Descartes bahwa ide bawaan adalah sumber pengetahuan. Hobbes berpendapat bahwa kesan indra adalah sumber dari semua pengetahuan dan perilaku manusia dikontrol oleh “hasrat-keinginan” dan “keengganan”. Dalam hal ini pandangan Hobbes ada pengaruh Aristoteles dalam filsafatnya.
John Locke
Locke (1632-1704) juga menentang gagasan ide bawaan. Menurut Locke, pikiran dari ide, dan ide datang dari pengalaman. Locke mengembangkan sebuah aliran pandangan yang karakteristiknya empirisme tetapi membatasi dirinya sehingga tidak sampai benar-benar eksperimental. Ide berasal dari pengalaman indrawi dan pikiran tersusun dari ide-ide yang telah dikombinasikan melalui refleksi dan refleksi adalah proses rasional.
George Berkeley
Berkeley (1685-1753) mengklaim bahwa Lock tidak melangkah cukup jauh. Berkeley masih dianggap empirisme karena dia percaya isi pikiran berasal dari pengalaman realitas eksternal. Realitas eksternal itu bukan material atau fisik, namun persepsi Tuhan; apa yang dialami melalui indra adalah ide Tuhan.
David Hume
David Hume (1711-1776) mengemukakan argumen bahwa manusia tidak bisa merasa pasti tentang lingkungan fisik, dia menambahkan bahwa manusia juga tidak tahu pasti soal ide. Hume percaya bahwa  pengetahuan manusia terdiri atas ide-ide yang datang dari pengalaman dan kemudian diasosiasikan melalui prinsip asosiasi.
Immanuel Kant
Kant (1724-1804) seorang ahli filsuf jerman. Kant mempertahankan rasionalisme dengan menunjukkan bahwa pikiran adalah sumber pengetahuan. Kant mempertahankan bahwa pengetahuan adalah bawaan, sehingga pandangan Immanuel Kant ada pengaruh Plato dalam filsafatnya.
John Stuart Mill
Mill (1806-1873) seorang empiris dan asosianis, tetapi ia menolak pandangan yang mengatakan bahwa ide-ide sederhana berpadu dengan tatanan-tatanan yang teratur untuk membentuk ide-ide yang lebih kompleks. Dalam hal ini Mill memodifikasi pendapat empiris bahwa semua ide bagian dari stimulus indriawi.
Dari beberapa tokoh besar di atas dapat dikatakan bahwa dua pandangan yang ada pada asal atau awal psikologi modern adalah pandangan rasionalisme dan empirisme, sedangkan konstruktivisme muncul setelah adanya perpanduan antara empirisme dan rasionalisme. Rasionalisme adalah pandangan yang mengajarkan bahwa pengetahuan berasal dari pikiran. Tokoh besar dalam pandangan rasionalisme adalah Plato, Descartes, dan Kant. Empirisme adalah pandangan yang mengajarkan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman pancaindra. Tokoh besar dalam pandangan empirisme adalah Aristoteles, Hobbes, Locke, Bekerey, dan Mill. Konstruktivisme adalah suatu paham yang lebih memahami belajar sebagai kegiatan membangun atau menciptakan pengetahuan dari pikiran secara aktif dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalaman indriawi. Tokoh besar konstruktivisme adalah Jean Piaget dan Vygotsky. Berikut ini adalah contoh dari masing-masing gagasan awal pembelajaran:
1.      Dalam proses pembelajaran sekolah dasar, guru memberikan pembelajaran mengenai bahaya bermain api dengan menunjukan gambar kebakaran rumah. Analisis dalam pembelajaran bahaya bermain api adalah akan timbul respons dari anak melalui pemikirannya tentang bahaya bermain api. Pemikiran inilah yang mendasari pandangan rasionalisme.
2.      Pada proses pembelajaran lompat jauh, siswa akan diberikan arahan cara melakukan lompatan dengan baik. Langkah-langkah melakukan lompat jauh adalah sprint, tolakan satu kaki, melayang, dan mendarat. Ketika melakukan tolakan satu kaki banyak anak yang melakukan kesalahan, baik melewati papan tumpuan maupun keraguan melakukan tolakan. Melalui latihan yang berulang-ulang, siswa dapat melakukan lompatan dengan baik. Analisis dari kejadian ini adalah pengulangan latihan yang melibatkan pengalaman indriawi, sehingga siswa dapat melakukan lompatan dengan baik.
3.      Pada Sekolah Menengah Atas pembelajaran penjasorkes yang seharusnya dilakukan di lapangan, namun dilakukan di dalam kelas  karena kondisi sedang hujan. Pelajaran diberikan melalui video tentang permainan basket. Siswa merspons dengan menonton video tersebut, dan melalui pengalamannya ketika SMP, siswa akan lebih memahami tentang cara bermain basket yang baik dan benar.
Pengaruh Historis Lain terhadap Pembelajaran
Adanya historis-historis lain akan mendukung dan memengaruhi hal-hal yang terkait dalam pembelajaran, sehingga nantinya suatu pembelajaran akan lebih efektif, efisien, dan mencapai tujuan dari belajar itu sendiri. Adapun historis-historis tersebut adalah sebagai berikut:
Thomas Reid
Thomas Reid (1710-1796) percaya bahwa pikiran memiliki kekuatan sendiri, yang sangat memengaruhi cara untuk memandang dunia. Reid mengemukakan 27 fakultas pikiran, yang kebanyakan di antaranya adalah bawaan. Keyakinan akan fakultas pikiran ini disebut dengan faculty psychology (psikologi fakultas). Pandangan psikologi fakultas ini adalah capuran dari konstruktivisme, rasionalisme, dan empirisisme.
Franz Joseph Gall
Gall (1758-1828) berasumsi pertama, psikologi fakultas terletak di lokasi tertentu di otak. Kedua, fakultas pikiran itu tidak sama untuk setiap individu. Ketiga, jika suatu fakultas pikiran berkembang baik, akan ada benjolan di bagian tengkorak kepala yang berhubungan dengan tempat fakultas pikiran otak itu. Jika fakultas itu tidak berkembang baik, akan tampak cekungan di tengkorak. Gall mengembangkan diagram yang menunjukan fakultas-fakultas di beberapa bagian tengkorak. Analisis tersebut dinamakan phrenology.
Charles Darwin
Darwin (1809-1882) mendukung gagasan evolusi biologis. Darwin mengubah semua pemikiran tentang sifat manusia. Manusia dilihat sebagai kombinasi dari warisan biologis dan pengalaman hidup. Fungsi perilaku sebagai cara menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Herman Ebbinghaus
Herman Ebbinghaus (1850-1909) adalah ahli riset yang amat cermat dan mengulangi eksperimennya selama bertahun-tahun sebelum dia memublikasikan hasil risetnya tahun 1885. Salah satu prinsip penting dari asosiasi adalah hukum frekuensi, yang menjadi fokus riset Ebbinghaus. Hukum frekuensi menyatakan bahwa semakin sering suatu pengalaman terjadi, semakin mudah pengalaman itu diingat atau dilakukan lagi. Dalam riset Ebbinghaus memori mendapat kekuatan melalui repetisi, dan tingkat lupa sangat cepat untuk beberapa jam pertama setelah pengalaman belajar.
Mazhab Psikologi Awal
Voluntarisme
Mazhab psikologi pertama adalah voluntarism (voluntarisme), dan aliran ini didirikan oleh Wundt (1832-1920), tujuan Wundt adalah mempelajari kesadaran sebagaimana ia alami secara langsung dan Wunt mendirikan laboratorium pertama tahun 1879 (Hergenhahn dan Olson, 2014: 45). Studi yang dilakukan oleh Wundt terbatas pengaruhnya terhadap teori psikologi karena hanya mencakup hal-hal tertentu. Terutama mengenai aspek pikiran hanya dapat di pelajari secara tidak langsung melalui observasi dengan mempelajari agama, moral, seni, adat, mitos dan hukum. Penekanan aliran Wundt ada pada kehendak, manusia dapat memilih secara selektif terhadap elemen yang masuk dalam pikiran yang diinginkan, sehingga mudah dipahami. Penekanan Wundt pada kehendak pikiran, inilah yang dinamakan voluntarism (voluntarisme) sehingga dapat dikatakan voluntarisme adalah aliran atau mazhab yang penekanan pikirannya ada pada kehendak yang diinginkan agar mudah untuk diingat dan dipahami.
Ketika dalam pembelajaran penjasorkes disekolah materi atletik, pembelajaran untuk lompat jauh. Seorang guru memberikan arahan mengenai teknik lompatan yang baik. Tidak semua siswa akan merespons dengan baik. Seorang siswa mengalami kesulitan ketika melakukan tolakan setelah awalan lari. Ada kecemasan dalam melakukan tolakan pada papan tumpuan karena jika terlewati lompatannya dianggap tidak sah. Disinilah seorang siswa menekankan pada pikirannya agar hasil lompatanya sah, jadi melakukan tolakan tidak pada papan tolakan melainkan sebelum papan tolakan.
Strukturalisme
Strukturalisme didirikan oleh Titchener (1867-1927) adalah siswa dari Wundt. Pada tahun 1892 Edward mendirikan laboratorium di Cornell University (Schunk, 2012: 12). Alat utama yang dipakai oleh aliran struktural adalah introspeksi (introspection) yaitu sebuah tipe analisis diri. Introspeksi adalah sebuah metode yang memerlukan latihan agar introspeksionis dapat mengetahui kapan seorang individu meneliti proses pikiran sadarnya sendiri. Inilah yang sering menjadi permasalahan dan tidak bisa diandalkan, karena belum tentu seorang introspeksionis mengetahui kapan seorang individu meneliti pikirannya sendiri. Dapat dikatakan bahwa introspeksi bukan metode yang tepat untuk meneliti proses mental yang lebih tinggi seperti penjelasan logis, pemecahan masalah, dan lain-lain. Mazhab strukturalisme tidak dapat bertahan lama selain dikarenakan semakin berkembangnya aliran fungsionalisme.
Fungsionalisme
Pelopor aliran fungsionalisme adalah James (1842-1910) (Hergenhahn dan Olson, 2014: 47).  Dalam buku “The Principles Of Psycology” James menekankan bahwa manusia adalah makhluk rasional dan irasional (emosional). Hal inilah yang menunjukan arti pentingnya pemahaman dasar biologis dari peristiwa mental dan menyarankan studi hewan dalam rangka mempelajari manusia secara mendalam dan kegunaannya untuk penyesuaian diri terhadap lingkungannya. Aliran fungsionalisme dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin, untuk meneliti penggunaan proses-proses mental dalam membatu organisme menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ketika seorang bayi melihat lilin yang menyala, lalu bayi tersebut ingin menggapai dan memegangnya. Lilin yang terlihat oleh mata merupakan stimulus dan menggapainya adalah respons. Ketika tangan bayi tersebut menggapai lilin tersebut dan terkena tetesan lilin sehingga timbul rasa sakit inilah sebuah stimulus yang mendorong respons untuk menjatuhkan lilin dari tangannya. Kontribusi utama fungsionalis untuk teori belajar adalah mempelajari hubungan kesadaran dengan lingkungan, untuk memperbaiki informasi yang dapat dipakai guna meningkatkan kondisi manusia dan menjadikan proses belajar dapat lebih baik dan semakin inovatif.
Behaviorisme
Pendiri aliran behaviorism (behaviorisme) adalah Watson (1878-1958), yang mengatakan bahwa kesadaran hanya dapat dipelajari melalui proses introspeksi, dan itu adalah alat riset yang tidak bisa diandalkan (Hergenhahn dan Olson, 2014: 48). Aliran behaviorisme menganggap kesadaran tidak dapat dipelajari secara reliabel dan kajian utama behaviorisme mengenai perilaku, karena perilaku dapat dikaji secara langsung, yang dipelajari dalam psikologi harus diekspresikan melaui perilaku. Mempelajari perilaku manusia sehingga bisa mengambil kesimpulan mengenai proses yang diyakini merupakan sebab dari perubahan perilaku yang  dilihat. Dalam hal ini proses tersebut dinamakan belajar. Ketika seorang siswa melakukan suatu gerakan yang timbul baik berupa mendengar atau melihat dihasilkan dari stimulus yang muncul secara spontan. Selanjutnya, akan terjadi keserasian gerak, yaitu satu gerakan awal menghasilkan gerakan pertama, kemudian kedua, gerakan ketiga, gerakan keempat, dan seterusnya. Gerakan tersebut membentuk rangkaian yang terus-menerus yang otomatis menjadi kebiasaan dengan dilakukan secara berulang-ulang. Pengulangan tersebut bukan dimaksudkan untuk memperkuat hubungan, tetapi untuk membina atau memasangkan stimulus yang cocok dengan respons yang diharapkan. Gerakan yang timbul dan stimuli inilah yang memungkinkan sampai sejauh mana perubahan perilaku siswa dalam melakukan rangkaian gerakan.
Konstruktivisme
            Konstruktivisme adalah suatu paham yang lebih memahami belajar sebagai kegiatan membangun atau menciptakan pengetahuan dari pikiran secara aktif dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalaman indrawi. Pandangan inilah yang mendasari ide atau gagasan awal dalam teori belajar sebelum terjadi apa itu belajar, teori belajar, ciri-ciri teori belajar, hasil belajar, maupun masalah dalam pembelajaran. Pendekatan belajar konstruktivisme memiliki beberapa sterategi dalam proses belajar. Menurut Slavin (1994) dalam Baharuddin dan Wahyuni (2009:127-128) strategi-strategi belajar konstruktivisme yaitu:
1.      Top down processing, yaitu belajar dimulai dari masalah yang kompleks untuk dipecahkan, kemudian menghasilkan atau menemukan keterampilan yang dibutuhkan.
2.      Cooperative learning, yaitu strategi belajar dengan berpasangan atau berkelompok yang dilakukan secara diskusi untuk penyelesaian suatu masalah.
3.      Generative learning, yaitu strategi yang menekankan pada integrasi yang aktif antara materi dan pengetahuan yang baru. Diharapkan dengan strategi generatif siswa menjadi lebih melakukan proses adaptasi ketika menghadapi stimulus baru.
Dari lima mazhab diatas dapat dikatakan memiliki kajian fokus masing-masing, kesemuanya mempengaruhi dan mempunyai tujuan dalam memperbaiki proses belajar dan pembelajaran hingga saat ini. Awal atau gagasan dalam pembelajaran sering kali kurang menjadi perhatian, karena sebagian terfokus oleh perkembangan teori belajar. Hal terpenting dalam keberhasilan adalah sejarah atau awal, bagaimana keberhasilan itu terjadi.
Implementasi Gagasan Awal dalam Pembelajaran Penjasorkes
Ide atau gagasan awal dalam belajar sangat berkaitan dengan pembelajaran pendidikan jasmani, kesehatan, dan rekreasi. Jika tidak ada gagasan awal tentang proses pembelajaran, maka hingga saat ini tidak akan ada belajar dan pembelajaran. Menurut Rahyubi (2012:6), belajar adalah segenap rangkaian kegiatan atau aktivitas yang dilakukan secara sadar oleh seseorang dan mengakibatkan perubahan dalam dirinya berupa penambahan pengetahuan atau kemahiran berdasarkan pancaindra dan pengalamannya. Belajar merupakan pembentukan kebiasaan yang terjadi karena adanya interaksi antara organisme dan lingkungan sehingga mampu mengakibatkan perubahan perilaku organisme tersebut. Interaksi yang ditunjukkan berupa stimulus dan respons. Stimulus dalam proses belajar dapat dikondisikan atau dibuat sedemikian rupa sehingga respons yang dikehendaki dapat terjadi. Keberhasilan pembelajaran dan ketercapaian tujuan akhir pembelajaran yang telah ditetapkan akan sangat dipengaruhi oleh kegiatan awal pembelajaran yang dilakukan guru, salah satunya yaitu apersepsi. Apersepsi adalah pengamatan secara sadar (pengkayatan) tentang segala sesuatu di jiwanya sendiri  dan landasan untuk penerimaan ide baru. Apersepsi yang diberikan guru diharapkan akan meningkatkan motivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran penjas, sehingga siswa akan bersungguh-sungguh selama proses pembelajaran berlangsung dan akan berdampak posistif pada hasil yang ingin dicapai.
Dalam pembelajaran olahraga atletik lompat jauh, tentu yang menjadi pertanyaan adalah olahraga atletik itu olahraga yang seperti apa? Bagaimana melakukan olahraga lompat jauh? Apa saja peraturan dalam lompat jauh? Terkdang satu hal yang sering terlupakan adalah mengenai sejarah, sejarah olahraga atletik itu sendiri. Disinilah para pendidik tidak hanya mengajarkan olahraga tersebut atau menjelaskan tentang peraturannya, pendidik juga harus memberikan penjelasan mengenai sejarah olahraga atletik tersebut. Diharapkan melalui pembelajaran sejarah olahraga, peserta didik mendapatkan nilai historis yaitu lebih menghargai terhadap sesuatu, baik kaitannya dengan pembelajaran, pemberian, teman, guru, orang tua, maupun lingkungan.
PENUTUP
Kesimpulan
Ide adalah rancangan yang tersusun di dalam pikiran; gagasan. Ide atau gagasan awal dalam pembelajaran adalah adanya rancangan pemikiran dua tokoh besar Plato dan Aristoteles mengenai pandangannya terhadap pengetahuan, sehingga ada aliran pandangan rasionalisme dan empirisme. Dari padangan inilah, lalu dikembangkan oleh Jean Piaget dan Vygotsky menjadi konstruktivisme. Rasionalisme adalah paham yang menekankan sumber pengetahuan berasal dari akal atau pikiran secara aktif. Empirisme adalah suatu paham yang menekankan sumber pengetahuan berasal dari pengalaman indriawi. Konstruktivisme adalah suatu paham yang lebih memahami belajar sebagai kegiatan membangun atau menciptakan pengetahuan dari pikiran secara aktif dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalaman indriawi serta adanya interaksi dengan lingkungan. Pandangan-pandangan tersebut akan dikembangkan menjadi bagian-bagian dari pembelajaran seperti model belajar, strategi belajar, yang tujuannya untuk pembelajaran yang lebih inovatif. Keberhasilan pembelajaran dan ketercapaian tujuan akhir pembelajaran yang telah ditetapkan akan sangat dipengaruhi oleh kegiatan awal pembelajaran yang dilakukan guru, cara penyampaian materi, dan kegiatan penutup. Diharapakan melalui pembelajaran inilah ada perubahan perilaku siswa dalam pencapaian pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Baharuddin dan Wahyuni, Esa Nur. 2009. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Hergenhahn, B. R., dan Olson, M. H. (2014). Theories of Learning, Edisi Ketujuh. Jakarta: Kencana.
Rahyubi, Heri. 2012. Teori-Teori Belajar Dan Aplikasi Pembelajaran Motoric Diskripsi Dan Tinjauan Kritis. Bandung : Nusa Media.
Schunk, Dale.H. (2012).Learning Theories An Educational Perspective (Teori-teori pembelajaran perspektif pendidikan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Siregar, Eveline dan Hartini Nara.(2011). Teori Belajar dan Pembelajaran. Bogor: Ghalia Indonesia.
Thobroni, Muhammad dan Arif Mustofa. (2013). Belajar dan Pembelajaran; Pengembangan Wacana dan Praktik Pembelajaran dalam Pembangunan Nasional.------






MEMBANGUN SELF CONCEPT ANAK SEKOLAH DASAR KELAS ATAS MELALUI OLAHRAGA PERMAINAN MENGGUNAKAN TALI DAN CONE

MEMBANGUN SELF CONCEPT ANAK SEKOLAH DASAR
KELAS ATAS MELALUI OLAHRAGA PERMAINAN
MENGGUNAKAN TALI DAN CONE

Oleh:
Margi Asih, S.Pd.



ABSTRAK
Self concept atau konsep diri adalah segala sesuatu mengenai diri sendiri. Ketika siswa menunjukkan pribadi yang negatif, sekolah sebagai alat bantu dengan bantuan para guru terutama guru pendidikan jasmani, kesehatan, dan rekreasi akan berusaha membangun konsep diri siswa yang positif. Konsep diri  sangat penting untuk mendasari diri agar nantinya siswa dapat bertingkah laku yang positif untuk kehidupan sekarang dan yang akan datang. Manfaat konsep diri berguna untuk diri sendiri dan lingkungan sekitar yang berupa masyarakat maupun organisasi di sekitar individu. Konsep diri di bentuk pada siswa usia 10-13 tahun merupakan tahapan perkembangan penting dan bahkan fundamental bagi kesuksesan perkembangan pola pikir. Pada Tahap ini anak yang sudah memiliki kemampuan koordinasi, dapat bersosialisasi, dan pemikirannya sudah logis, sehingga pemberian permainan guna membangun self concept tepat diberikan pada anak sekolah dasar.
Siswa sekolah dasar merupakan usia yang sangat potensial untuk pemberian dasar pengetahuan, pengembangan konsep diri, dan nilai-nilai moral. Karakteristik anak SD kelas atas yaitu dapat membuat kesimpulan atau hipotesis dan kritis. Pada kurikulum pendidikan sekolah dasar, ada pelajaran pendidikan jasmani, kesehatan, dan rekreasi. Pendidikan jasmani merupakan media untuk mendorong perkembangan intelektual keterampilan motorik, kemampuan fisik, pengetahuan, penalaran, penghayatan nilai, sikap, mental, emosional, spiritual, sosial, dan pembiasaan pola hidup sehat yang bermuara untuk merangsang pertumbuhan serta perkembangan yang seimbang. Pada kurikulum pendidikan sekolah dasar, aspek terpenting adalah peserta didik belum diberikan olahraga kecabangan dan hanya pada permainan. salah satu olahraga permainan yang akan diberikan adalah olahraga permainan menggunakan tali dan cone.
Tujuan dari makalah ini membangun konsep diri pada siswa sekolah dasar kelas atas melalui permainan menggunakan tali dan cone. Permainan menggunakan tali dan cone dapat diberikan kepada siswa, permainan ini akan membuat siswa merasa senang dan bahagia, dan permainan ini mengandung nilai-nilai konsep diri sehingga permainan ini efektif diberikan untuk memberikan pondasi konsep diri pada siswa sekolah dasar kelas atas.

Kata kunci: Self Concept, Siswa SD kelas atas, Olahraga permainan
menggunakan tali dan cone.

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Pendidikan di Indonesia terdiri dari pendidikan formal, dan non formal. Pendidikan formal terdiri dari beberapa jenjang pendidikan yang harus ditempuh mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah pertama, dan pendidikan menengah atas. Pendidikan dasar merupakan landasan atau dasar untuk melanjutkan kejenjang pendidikan selanjutnya, untuk itu mutu pendidikan dasar perlu ditingkatkan dan peningkatan itu hendaknya dilakukan secara menyeluruh. Menurut Quinn dan David Carr (2006:17) mengatakan “Building a foundation during elementary school physical education can help develop active involvement in physical activity and contribute to lifelong positive attitude toward fitness and sport”. Dengan demikian, pendidikan sekolah dasar adalah jenjang pendidikan yang sangat penting sebagai pondasi dalam pengembangan karakter. Setiap jenjang pendidikan mengacu pada sebuah kurikulum pendidikan dalam pelaksanaannya. Pada kurikulum sekolah dasar terdapat beberapa mata pelajaran yang akan diberikan, salah satunya adalah Pendidikan jasmani, kesehatan, dan rekreasi. Samsudin (2008:6) dalam Febrianti (2013:194) mengenai struktur materi pendidikan jasmani pada jenjang sekolah dasar kelas 4-6 meliputi aktivitas pembentukan tubuh, permainan, dan modifikasi olahraga, kecakapan, hidup di alam bebas, dan kecakapan hidup personal (kebugaran jasmani serta pembentukan sikap dan perilaku). Pendidikan jasmani merupakan media untuk mendorong perkembangan intelektual keterampilan motorik, kemampuan fisik, pengetahuan, penalaran, penghayatan nilai, sikap, mental, emosional, spiritual, sosial, dan pembiasaan pola hidup sehat yang bermuara untuk merangsang pertumbuhan serta perkembangan yang seimbang. Menurut Kahan (2008:30) menyebutkan physical education is one of several content areas often thought of as peripheral subject matter, and therefore it is often reduced or eliminated when schools give priority to higt-stakes standardized testing of core curriculum. Tujuan pendidikan jasmani di sekolah dasar juga mempertimbangkan adanya tujuan pembelajaran, kemampuan siswa, metode pembelajaran, materi, sarana dan prasarana, serta aktifitas pembelajaran. Dalam mencapai tujuan pendidikan jasmani di sekolah dasar tersebut, guru harus terlebih dahulu membuat rencana proses pembelajaran. Tujuan dari rencana proses pembelajaran yaitu memberikan gambaran kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan di lapangan. Pada dasarnya, proses pembelajaran yang terlebih dahulu direncanakan akan lebih terarah dalam pencapai tujuan. Namun, guru sering kali beranggapan bahwa kegiatan mengajar telah dilakukan setiap hari, sehingga tidak perlu membuat rencana pembelajaran dan proses pembelajaran terkesan apa adanya tanpa memperhatikan situasi, kondisi, serta kebutuhan siswa. Keadaan sekolah juga mempengaruhi proses pembelajaran di sekolah, terutama dalam hal sarana dan prasarana.  Sarana dan prasarana yang lengkap akan mendukung dan memudahkan guru dalam mengajar dan siswa akan lebih mudah menerima pembelajaran yang diberikan. Tidak semua sekolah memiliki sarana dan prasarana yang lengkap, sehingga perlunya guru memberikan pembelajaran suatu materi dengan tidak meninggalkan konsep dasar dari materi olahraga yang diberikan. Hal ini juga sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hamalik (2009) dalam Suganda (2013: 157) bahwa kedudukan guru dan fungsi guru cenderung lebih dominan sehingga keterikatan guru dalam strategi itu tampak masih terlalu besar, sedangkan keaktifan peserta didik masih terlalu kecil kadarnya. Gejala ini menggambarkan penggunaan strategi masih terbatas dan implikasi keadaan ini mengakibatkan hasil belajar peserta didik belum mencapai taraf optimal.
Peranan guru yang memiliki inisiatif, kreatifitas, inovasi, dan dapat membuat model pembelajaran yang menyenangkan peserta didik akan membuat tujuan pembelajaran tercapai sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik, sehingga guru harus mampu menyajikan rencana pembelajaran dengan model dan metode yang menarik dan sesuai bagi peserta didik. Menurut Jumesam (2010) dalam Suganda (2013:158) menyatakan dalam menganalisis proses belajar mengajar pada intinya tertumpu pada suatu persoalan, yaitu bagaimana guru memberi kemungkinan peserta didik agar terjadi proses belajar yang efektif atau dapat mencapai hasil sesuai dengan tujuan. Persoalan ini membawa implikasi sebagai berikut: (1) guru harus mempunyai pengetahuan tentang mengajar dan dasar-dasar teori belajar, (2) guru harus dapat mengembangkan sistem pengajaran, (3) guru harus mampu melakukan proses belajar mengajar yang efektif, (4) guru harus mampu melakukan penilaian hasil belajar sebagai dasar umpan balik bagi seluruh proses yang ditempuh.
Kepribadian atau personality merupakan seperangkat asumsi tentang kualitas tingkah laku manusia berserta definisi empirisnya (Yusuf dan Juntika, 2007:5). Dapat dikatakan bahwa kepribadian berkaitan dengan konsep diri, karena konsep diri adalah persepsi, keyakinan, perasaan, atau sikap seseorang tentang dirinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Elizabeth B. Hurlock (1986) dalam Yusuf dan Juntika (2007:7) mengemukakan bahwa pola kepribadian merupakan suatu penyatuan struktur yang multidimensi yang terdari atas konsep diri atau self concept sebagai inti atau pusat gravitasi kepribadian dan traits sebagai struktur yang mengintegrasikan kecenderungan pola-pola respons. Menurut Ghufron dan Risnawati (2014:13), konsep diri diartikan sebagai gambaran seseorang mengenai diri sendiri yang merupakan gabungan dari keyakinan fisik, psikologi, sosial, emosional aspiratif, dan prestasi yang mereka capai. Pada anak sekolah dasar seharusnya telah diberikan pembelajaran mengenai self concept, hal ini tentunya untuk menanamkan nilai-nilai positif dalam diri siswa agar siswa tidak bertindak atau bertingkah laku negatif. Usia siswa di sekolah dasar merupakan usia yang sangat potensial untuk pemberian dasar pengetahuan, pengembangan konsep diri, dan nilai-nilai moral. Pada kurikulum pendidikan sekolah dasar, aspek yang terpenting adalah peserta didik belum diberikan olahraga kecabangan dan hanya pada permainan. Aspek permainan mempunyai persentase terbesar daripada aspek materi ajar lainnya. Materi permainan dan olahraga dilakukan secara perseorangan, berpasangan, dan beregu.
Pada dasarnya anak-anak gemar bermain, bergerak, bernyanyi dan menari, baik dilakukan sendiri maupun berkelompok. Bermain adalah kegiatan untuk bersenang-senang yang terjadi secara alamiah. Anak tidak merasa terpaksa untuk bermain, tetapi mereka akan memperoleh kesenangan, kanikmatan, informasi, pengetahuan, imajinasi, dan motivasi bersosialisasi. Bermain merupakan kegiatan yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan fisik, sosial, emosi, intelektual, dan spiritual anak sekolah dasar. Dengan bermain anak dapat mengenal lingkungan, berinteraksi, serta mengembangkan emosi dan imajinasi dengan baik. Bermain memiliki fungsi yang sangat luas, seperti untuk anak, untuk guru, orang tua dan fungsi lainnya bagi anak. Dengan bermain anak dapat mengembangkan fisik, motorik, sosial, emosi, kognitif, daya cipta (kreativitas), bahasa, perilaku, ketajaman pengindraan, melepaskan ketegangan, dan terapi bagi fisik, mental ataupun gangguan perkembangan lainnya. Fungsi bermain bagi guru dan orangtua adalah agar guru dan orang tua dapat memahami karakter anak, jalan pikiran anak, dapat intervensi, kolaborasi dan berkomunikasi dengan ank. Fungsi lainnya adalah rekreasi, penyaluran energi, persiapan untuk hidup dan mekanisme integrasi (penyatuan) dengan alam sekitar. Menurut NAEYC (National Association for The Education of Young Children,1997), bermain merupakan alat utama belajar anak. Demikian juga pemerintah Indonesia telah mencanangkan prinsip, “Bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain”. Bermain yang sesuai dengan tujuan di atas adalah bermain yang memiliki ciri-ciri seperti: menimbulkan kesenangan, spontanitas, motivasi darianak sendiri, dan aturan ditentukan oleh anak sendiri. Menurut Hans Daeng (dalam Andang Ismail, 2009: 17) permainan adalah bagian mutlak dari kehidupan anak  dan permainan merupakan bagian integral dari proses pembentukan kepribadian anak. Permainan mengajarkan nilai-nilai yang terdiri dari nilai kerjasama, sportifitas, kejujuran, toleransi, dan percaya diri. Siswa sekolah dasar kelas atas sudah memiliki kemampuan untuk menyimpulkan (hipotesis), sehingga anak sekolah dasar kelas atas dapat diberikan arahan mengenai konsep diri agar nantinya untuk kehidupan yang akan datang siswa tersebut dapat bertindak dalam tingkah laku yang positif. Hal ini sependapat dengan Ajay (2011:572) mengemukakan bahwa:
Physical education plays a vital role in the personality development of our youth. It makes them physically healty, active, and mentally alert, and also reduces their risk for health problems. It enables them to live in a healthy and competitive environment. It develops in them team-work, self-discipline, sportsmanship, leadership, and socialization”.

Permasalahannya hingga saat ini, di sekolah-sekolah terutama di sekolah dasar, kegiatan bermain masih dianggap kurang penting, sehingga belum ada program yang terencana dan terstruktur. Pembelajaran terpadu (tematik) yang menggabungkan beberapa bidang studi di kelas rendah belum memasukkan unsur-unsur permainan, paling-paling kegiatan bermain disisipkan dalam pelajaran olah raga (pendidikan jasmani). Pendidikan jasmani (Penjas) merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara keseluruhan dan sangat strategis digunakan untuk mendorong perkembangan kemampuan motorik, kemampuan fisik, penalaran dan penghayatan nilai (mental, emosional, spiritual, dan social) serta pembiasaan hidup sehat. Penjas sebagai bidang studi berorientasi pada kebutuhan gerak siswa juga dapat diintegrasikan dengan bidang studi lain seperti matematika, IPA, bahasa, IPS dan agama. Walau demikian pada kenyataannya kondisi pembelajaran Penjas di sekolah-sekolah sampai saat ini belum efektif meskipun telah dilakukan berbagai upaya pembenahan pada kurikulum dan melalui jalur pendidikan dan pelatihan guru (Satya, 2006). Di samping hal-hal di atas para guru Penjas juga sulit memperoleh buku rujukan yang refresentatif dan akomodatif juga kurangnya pemahaman masyarakat terhadap kontribusi pendidikan jasmani sebagai salah satu alat dalam mewujudkan terbentuknya manusia seutuhnya (sehat fisik, emosi, kecerdasan serta sosial). Pada kasus yang terjadi di Sekolah Dasar Negeri Catur Tunggal 7 kelas 5, salah satu siswa memiliki keahlian atau berbakat pada bidang olahraga, sehingga menonjol diantara teman-temanya. Akibatnya siswa tersebut menjadi sombong dan paling hebat, sehingga teman-temannya tidak menyukai siswa tersebut. Dari kasus ini dapat dilihat bahwa tanpa pembekalan konsep diri yang baik, anak akan cenderung bertindak atau bertingkah laku tidak baik. Permasalahan selanjutnya adalah sebagian dari siswa sekolah dasar telah bertingkah laku layaknya orang dewasa, baik dari segi pakaian dan cara bicara. Selain itu, masih banyak siswa yang bertingkah laku negatif karena mengikuti apa yang di lihat, ditonton, dan didengar. Hal ini dapat terjadi tentu adanya pengaruh dari dalam dan luar individu, baik dari kurangnya pengawasan orang tua, lingkungan, hingga media massa dan media sosial. Diharapkan dengan memberikan olahraga permainan pada anak sekolah dasar mampu memberikan arahan dan menanamkan konsep diri pada diri siswa. Salah satu permainan yang akan diberikan adalah olahraga permainan menggunakan tali dan cone. Tali dan cone adalah suatu benda yang sering dilihat dan lazim digunakan, sehingga siswa akan mudah untuk berinteraksi menggunakan kedua benda tersebut. Tali dan cone pada dasarnya dapat dikembangkan dengan beragam dan variasi kegiatan gerak dan permainan yang menyenangkan bagi siswa. Dengan demikian, siswa akan dapat bergerak dengan aktif, bermain dengan senang, dan terlaksananya penyampaian nilai-nilai konsep diri melalui permainan.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa konsep diri sangat penting untuk mendasari diri agar nantinya dapat bertingkah laku yang positif. Konsep diri adalah apa yang dirasakan dan dipikirkan mengenai dirinya sendiri, sehingga untuk membina dan membentuk konsep diri siswa anak sekolah dasar kelas atas dapat dilakukan melalui olahraga permainan tali dan cone.

2.      Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah antara lain:
1)      kegiatan bermain masih dianggap kurang penting, sehingga belum ada program yang terencana dan terstruktur.
2)      Proses pembelajaran pendidikan jasmani, kesehatan, dan rekreasi dengan metode permainan yang mengandung nilai konsep diri masih terbatas.
3)      Guru Penjas juga sulit memperoleh buku rujukan yang refresentatif dan akomodatif.
4)      Banyaknya siswa yang bertingkah laku seperti orang dewasa, yang seharusnya hal itu belum terjadi.
5)      Kurangnya pemahaman guru terhadap perkembangan siswa disekolah.
6)      Kurangnya pemahaman siswa terhadap nilai-nilai konsep diri.
7)      Minimnya variasi permainan yang diberikan guru terhadap siswa mengenai konsep diri.
8)      Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap kontribusi pendidikan jasmani sebagai salah satu alat dalam mewujudkan terbentuknya manusia seutuhnya (sehat fisik, emosi, kecerdasan serta sosial).
3.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah di atas, dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu: “Bagaimana peranan permainan menggunakan tali dan cone dalam membangun self concept siswa sekolah dasar kelas atas?”.

4.      Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran dan pandangan bagi pembaca dalam memberikan permainan yang dapat membangun konsep diri atau self concept pada anak sekolah dasar kelas atas.

5.      Manfaat Penulisan
            Manfaat atas penulisan makalah ini adalah memberikan penjelasan dan pemahaman mengenai permainan menggunakan tali dan cone berkaitan dengan nilai-nilai konsep diri, sehingga makalah ini dapat dijadikan referensi untuk membangun self concept pada siswa sekolah dasar kelas atas melalui permainan tali dan cone.


BAB II
KAJIAN TEORI
1.      Self Concept
Dalam bukunya yang terkenal Principles of Psychology, William james (1890) mengemukakan diri (self) adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan orang tentang dirinya sendiri, bukan hanya tentang tubuh dan keadaan psikisnya sendiri, melainkan juga tentang anak, istri/suami, rumah, pekerjaan, nenek moyang, teman-teman, milik, uang dan lain-lain. Menurut Yusuf dan Juntika (2007:7), self concept dapat diartikan sebagai: (a) persepsi, keyakinan, perasaan, atau sikap seseorang tentang dirinya; (b) kualitas pensifatan individu tentang dirinya; dan (c) suatu sistem pemaknaan individu dan pandangan orang lain tentang dirinya. Konsep diri diartikan sebagai gambaran seseorang mengenai diri sendiri yang merupakan gabungan dari keyakinan fisik, psikologi, social, emosional aspiratif, dan prestasi yang mereka capai (Ghufron dan Risnawati, 2014:13). Dengan demikian dapat disimpulkan konsep diri adalah segala sesuatu yang mengenai diri sendiri.
Konsep diri atau self concept merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi interpersonal, karena setiap siswa akan bertingkah laku sesuai dengan konsep dirinya. Jika siswa memiliki konsep diri yang baik, maka dalam kehidupan selanjutnya siswa akan bertingkah laku baik begitu juga sebaliknya.  Konsep diri pada anak tidak tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, tetapi konsep diri dapat tumbuh dan berkembang dengan adanya interaksi beberapa element. Menurut Yusuf dan Juntika (2007:9), perkembangan self concept dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti  harapan orang tua, kondisi fisik, kematangan biologis, dampak media, tuntutan, pengalaman ajaran agama, masalah ekonomi keluarga,dan hubungan dalam keluarga. Fokus pembahasan makalah ini terdapat pada kondisi fisik, beberapa hasil penelitian menyebutkan seseorang yang memiliki kondisi fisik yang baik, maka akan dapat dengan mudah mengembangkan dirinya baik secara inteligensi maupun sikap. Permainan yang dilakukan anak-anak selain memberikan kesegaran jasmani juga akan memberikan pemikiran positif, dimana anak mendapatkan kesenangan, kebahagiaan. Tentunya ini akan mempengaruhi psikologis anak. Harapannya dengan diberikan permainan yang menyenangkan, anak dapat menanamkan nilai-nilai moral yang didapat melalui permainan untuk diimplementasikan dalam kehidupannya, sehingga anak dapat memiliki self concept yang positif. Berikut gambar faktor-faktor yang mempengaruhi self concept yaitu:
Kondisi fisik
 
 



                 
E.B Hurlock (1986) dalam Yusuf dan Nurihsan (2007:12-14) mengemukakan bahwa karakteristik penyesuaian yang sehat atau kepribadian yang sehat (healthy personality) ditandai dengan:
1)      Mampu menilai diri secara realistik.
2)      Mampu menilai situasi secara realistik.
3)      Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik.
4)      Menerima tanggung jawab.
5)      Kemandirian.
6)      Dapat mengontrol emosi.
7)      Berorientasi tujuan.
8)      Penerimaan sosial.
9)      Memiliki filsafat hidup.
10)  Berbahagia.

Adapun kepribadian yang tidak sehat ditandai dengan karakteristik seperti berikut.
1)      Mudah marah dan tersinggung.
2)      Menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan.
3)      Sering merasa tertekan (stress atau depresi).
4)      Bersikap kejam atau senang mengganggu orang lain.
5)      Ketidakmampuan untuk menghindar dari perilaku menyimpang meskipun sudah diperingati atau dihukum.
6)      Mempunyai kebiasaan berbohong.
7)      Hiperaktif.
8)      Senang mencemooh orang lain.
9)      Sulit tidur.
10)  Kurang memiliki rasa tanggung jawab.
11)  Kurang memiliki kesadaran untuk mentaati ajaran agama.
12)  Bersikap pesimis.
13)  Kurang bergairah atau kurang bersemangat.
Husdarta (2010:94) menyebutkan seseorang memiliki konsep diri positif dan negatif dalam dirinya. Adapun ciri negatif meliputi: (a) peka terhadap kritikan, (b) responsit sekali terhadap pujian, (c) hiperkritis, (d) cenderung merasa tidak disenangi orang lain, dan (e) pesimis terhadap kompetisi. Ciri positif meliputi: (a) yakin akan kemampuannya dalam menghadapi masalah, (b) merasa setara dengan orang lain, (c) menerima pujian tanpa merasa malu, (d) menyadari bahwa setiap orang memiliki berbagai perasaan, dan (e) mampu memperbaiki dirinya.
Memahami konsep diri sangatlah penting, karena dengan pemahaman konsep diri yang benar seseorang akan dapat lebih mengetahui dirinya sendiri dan belajar untuk lebih menerima dirinya. Hal ini juga akan membuat individu tidak mudah kehilangan arah perjalanan hidup, tidak mudah terpengaruh, dan apabila terpaksa melakukan suatu perubahan tidak akan membuat dirinya menjadi shock karena perubahan yang terjadi. Dengan menanamkan self concept pada diri anak melalui permainan akan sangat efektif, hal ini didukung oleh pendapat Hans Daeng (dalam Andang Ismail, 2009: 17) permainan adalah bagian mutlak dari kehidupan anak  dan permainan merupakan bagian integral dari proses pembentukan kepribadian anak. Permainan adalah suatu bentuk aktivitas jasmani yang menyenangkan. permainan yang diberikan berupa permainan tali dan cone. Kedua benda tersebut dipilih karena keberadaanya yang sudah sangat lazim dilihat oleh anak-anak. Hal ini tentu akan memudahkan interaksi siswa dalam mengikuti permainan yang diberikan dengan harapan penanaman konsep diri dalam permainan akan tersampaikan secara sederhana, sehingga mudah untuk dipahami oleh siswa sekolah dasar kelas atas.

2.      Karakteristik Anak Sekolah Dasar Kelas Atas
Karakteristik pertumbuhan dan perkembangan anak sangat penting diketahui untuk menentukan aktivitas jasmani atau olahraga yang akan diberikan pada anak usia sekolah dasar. Anak sekolah dasar kelas atas pada umumnya berusia 10-13 tahun yang merupakan periode perkembangan akhir masa kanak-kanak.  Pada usia tersebut merupakan tahapan perkembangan penting dan bahkan fundamental bagi kesuksesan perkembangan selanjutnya. Karena itu, guru tidaklah mungkin mengabaikan kehadiran dan kepentingan mereka. Ia akan selalu dituntut untuk memahami betul karakteristik anak, arti belajar dan tujuan kegiatan belajar bagi mereka di sekolah dasar.
The nation policy on education (1998) dalam Orunaboka (2011:140) menyebutkan “institution for children normally aged 6-11+. The document rightly observed that since the test of the education system is built upon it, the primary education is key to the success or failure of the whole educational system in any nation of the world”. Menurut Hurlock (1978:38) pada masa akhir masa kanak-kanak adalah periode di mana terjadi kematangan seksual dan masa remaja dimulai. Perkembangan utama pada masa ini adalah adanya sosialisasi. Menurut Piaget (Hergenhan & Olson, 2014:320) sekitar umur 10-12 tahun anak memasuki formal operationsyang ditandai dengan bisa menangani situasi hipotesis dan proses berpikir mereka tidak lagi tergantung hanya pada hal-hal yang langsung dan riil. Pemikiran anak pada tahap ini sudah semakin logis. Menurut Sukintaka (1979:93) pada anak tingkat umur10-12 tahun mereka telah menjadi lebih bersifat kritis, terutama terhadap prestasi dan kemampuannya berprestasi. Pada masa ini, anak-anak cenderung teliti dan pendiriannya berubah dari yang objektif ke arah subjektif. Hal ini sependapat dengan Saputra (2001:17) berpendapat pada anak usia 10-13 tahun, anak sudah dapat menentukan pilihannya akan cabang olahraga yang disukai, dan secara umum anak usia 10-13 tahun sudah memiliki kemampuan dalam koordinasi dan kelincahan yang jauh lebih baik dibanding anak-anak yang berusia dibawahnya.
Dari pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa anak sekolah dasar usia 10-13 tahun merupakan tahapan perkembangan penting dan bahkan fundamental bagi kesuksesan perkembangan selanjutnya. Pada usia 10-13 tahun anak yang sudah memiliki kemampuan koordinasi, mengalami kematangan seksual, bisa bersosialisasi, dan pemikirannya sudah logis, sehingga pemberian permainan guna membangun self concept tepat diberikan pada anak sekolah dasar kelas atas.

3.      Pendidikan Jasmani, Kesehatan, dan Rekreasi
Dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani, guru diharapkan mengajarkan berbagai keterampilan gerak dasar, internalisasi nilai-nilai  seperti sportivitas, kejujuran, keberanian, kerja sama, tanggung jawab, dan nilai-nilai lainnya. Pendidikan jasmani merupakan media untuk mendorong perkembangan keterampilan motorik, kemampuan fisik, pengetahuan, penalaran, penghayatan nilai, dan pembiasan pola hidup sehat. Menurut Douer dan Pangrazi (1989:1) dalam Rahayu (2013:3), pendidikan Jasmani adalah fase dari Program pendidikan keseluruhan yang memberikan kontribusi, terutama melalui pengalaman gerak, untuk pertumbuhan dan perkembangan secara utuh untuk tiap siswa. Pendidikan jasmani didefinisikan sebagai pendidikan dan melalui gerak dan harus dilaksanakan dengan cara tepat agar memiliki makna bagi siswa. Pendidikan jasmani merupakan pembelajaran yang memberikan perhatian yang proporsional yang memadai pada domain-domain pembelajaran, yaitu psikomotor, kognitif, dan afektif. Menurut Rahayu (2013:7), pendidikan jasmani adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani yang direncanakan secara sistematik bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, perseptual, kognitif, dan emosional, dalam kerangka system pendidikan nasional. Pendidikan jasmani dan olahraga adalah suatu kegiatan mendidik anak dengan proses pendidikan melalui aktivitas jasmani dan olahraga (Paturusi, 2012:5). Dengan demikian dapat disimpulkan, pendidikan jasmani adalah proses pendidikan untuk mendidik, mengembangkan nilai-nilai, meningkatkan keterampilan anak melalui aktivitas jasmani yang direncanakan.
Pendidikan jasmani pada hakikatnya adalah proses pendidikan memanfaatkan aktivitas fisik dan olahraga guna menghasilkan perubahan kualitas individu, baik secara fisik, mental, dan emosional. Proses pembelajaran pendidikan jasmani meliputi domain kognitif, afektif, dan psikomotor. Hal ini dilakukan agar terjadi keseimbangan baik secara fisik, ,mental, dan emosional pada diri anak. Berikut adalah gambar pedoman pembelajaran pendidikan jasmani dan olahraga.


4.      Olahraga Permainan
Pengertian bermain sangatlah unik dan deskriptif. Permainan merupakan aktivitas yang menyenangkan dan mendominasi pada kurikulum sekolah dasar. Games (including sports) are a from of structured activities played according to a specific rule set (Chunlei, 2009:180). Menurut Quinn dan David Carr (2006:17) mengatakan bahwa:
The game is the best teacher, and children will enjoy physical education because they get to play every day, while their skill, tactical awareness, problem-solving ability, and fitness level improve dramatically”.
Permainan anak-anak menurut Sukintaka (1979:89) adalah permainan yang mempunyai peraturan sederhana, mudah dimengerti, mudah dilaksanakan, hingga akan mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan anak. Menurut Froebel dalam Wawan (2009), hakikat permainan adalah kegiatan yang paling murni, yang paling spiritual dari manusia karena permainan memberikan kesenangan, kebebasan, kepuasan, ketenangan lahir batin dan perdamaian dengan dunia. Menurut Saputra (2001:6) mengatakan bermain adalah kegiatan yang menyenangkan. Menurut Hans Daeng (dalam Andang Ismail, 2009: 17) permainan adalah bagian mutlak dari kehidupan anak  dan permainan merupakan bagian integral dari proses pembentukan kepribadian anak. Moyles (1991) menegaskan bahwa bermain adalah suatu proses yang diperlukan baik oleh anak-anak maupun orang dewasa.
Bermain merupakan proses pembelajaran yang melibatkan pikiran, persepsi, konsep, kemahiran sosial dan fisik. Menurut Rebecca Isbell dalam bukunya The Complete Learning Center Book, “Play is Children’s Work and Children Want to Play”, dalam bermain, anak-anak mengembangkan keahlian memecahkan masalah dengan menggunakan berbagai cara untuk melakukan sesuatu dan menentukan pendekatan terbaik. Dalam bermain anak-anak menggunakan bahasa untuk melakukan kegiatan mereka, memperluas dan memperbaiki bahasa mereka sambil berbicara dengan anak lainnya. Ketika bermain, mereka belajar tentang orang lain selain dirinya dan mereka mencoba berbagai peran dan menyesuaikan diri saat bekerjasama dengan orang lain. Bermain membentuk perkembangan anak pada semua bagian: intelektual, sosial, emosional dan fisik (Isbell dalam Satya, 2006).
Dari pendapat beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan permainan adalah untuk memperoleh kesenangan, kebebasan, dan kepuasan lahir dan batin yang dilaksanakan dengan peraturan yang sederhana, mudah dimengerti, dan mudah dilaksanakan dengan tujuan untuk perkembangan dan pertumbuhan anak.
Permainan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk. Yoyo Bahagia (2000: 22-30) mengklasifikasikan permainan menjadi lima bentuk yaitu:
a.    Permainan sentuh (tag games)
Bentuk permainan yang sederhana untuk mengembangkan dasar-dasar strategi. Tujuan permainan ini adalah untuk bergerak, mengubah arah, dan mengecoh yang bertujuan agar dapat menyentuh lawan, menghindari sentuhan lawan. Contoh permainan sentuh adalah kucing-kucingan, galah asin, dan lain-lain.
b.    Permainan target (target games)
Bentuk permainan akurasi penyampaian objek pada sasaran atau target. Tujuan permainan ini adalah akurasi penyampaian objek pada sasaran. Keterampilan yang digunakan pada umumnya keterampilan close skill. Contoh permainan target  adalah bowling, golf, panahan, memukul, menendang, melompat, dan melempar bola pada target.
c.    Permainan net dan dinding (net and wall games)
Sebuah permainan yang melibatkan kemampuan bergerak dan mengendalikan objek agar susah dimiliki atau dikembalikan lawan. Pemain harus mampu mengandalikan daerahnya dan bergerak di dalam daerahnya untuk menempatkan diri pada posisi strategis yang dapat menghalau kembalian pukulan lawan. Contoh permainan net dan dinding adalah tenis, tenis meja, badminton, bola voli, sepaktakraw, squash,dan lain sebagainya.
d.   Permainan serangan (invansion games)
Permainan ini memfokuskan perhatiannya pada pengendalian objek pada daerah tertentu seperti permainan merebut bola. Permainan ini sangat kompleks, satu tim berusaha mengendalikan objek atau bola bergerak menuju ke sasaran seperti membuat gol, menyerang lawan, melewati lawan, dan bertahan dari lawan. Contoh permainan serangan adalah futsal, sepakbola, softball, rugby, American football, dan lain sebagainya.

e.    Permainan lapangan (fielding games)
Permainan ini menggunakan sebuah objek yang dikirimkan pada sebuah tempat tertentu dan pengirim berusaha lari ke tempat tertentu dan bahkan terus berlari sampai kembali lagi ke tempat semula sebelum pemain penangkap objek dapat menangkapnya dan mengirimkannya lagi ke tempat semula. Contoh permainan lapangan ini adalah kasti, bola bakar, softball, baseball, dan sebagainya.
Dalam makalah ini permainan yang digunakan adalah permainan target (target game). Target game dipilih karena permainan yang akan diberikan kepada anak sekolah dasar kelas atas adalah permainan yang memiliki target sasaran berupa tali dan cone. Permainan yang akan diberikan tidak hanya sebuah permainan tanpa adanya nilai-nilai psikologis. Setiap permainan yang diberikan memiliki sasaran nilai-nilai psikologis, berupa sportivitas, kerjasama, tanggung jwab, optimis, percaya diri, pengontrolan emosi, dan lain-lain. Harapannya nilai-nilai sasaran dalam permainan akan memberikan dampak pada diri anak, agar anak memiliki self concept yang baik sehingga self concept ini akan terus tertanam pada diri anak hingga dewasa.

5.      Permainan Menggunakan Tali dan Cone
Sebelum memberikan permainan yang mengandung nilai-nilai konsep diri, guru harus memahami mengenai kerakter siswa guna menyeimbangkan proses membangun konsep diri siswa. Menurut Weinberg dan Gould, D (2005:46), cara memahami karakter siswa yaitu: (a) Consider both personality traits and situations, (b) Be an informed consumer, (c) Be a good communicator, (d) Be a good obsever, dan (e) Be knowledgeable about mental strategies. Setelah memahami mengenai pengertian konsep diri, startegi memahami karakter siswa, dan karakteristik anak sekolah dasar kelas atas, guru dapat memberikan bentuk olahraga permainan menggunakan tali dan cone. Permainan menggunakan tali dan cone dipilih karena dalam penggunaanya tidak mengandung resiko yang berbahaya bagi siswa. Faktor keselamatan atau safety merupakan tinjauan yang sangat penting dalam memberikan permainan pada anak sekolah dasar. Tentunya apabila anak mengalami suatu kejadian yang membahayakan keselamatannya, siswa akan merasa trauma dan perkembangannya akan mengalami hambatan/gangguan. Setiap permainan yang diberikan kepada siswa harus mengandung nilai-nilai moral, agar nilai-nilai moral yang terkandung dalam permainan akan lebih mudah dipahami oleh siswa selain kesenangan dalam bermain. Permainan sangat membantu dalam membangun konsep diri dari siswa untuk memberikan dampak positif terutama dalam bertingkah laku. Berikut adalah olahraga permainan yang akan diberikan guna membangun konsep diri siswa sekolah dasar kelas atas yang di adopsi dari Faruq (2009), permainan pengembangan kecerdasan kinestetika anak dengan media tali dan meningkatkan kecerdasan kinestetika melalui 70 permainan dengan cone yaitu:

Olahraga permainan menggunakan tali yaitu:
1)      Permainan 1: melompat tali dengan dua kaki
Dilakukan secara perorangan pada lapangan yang datar, untuk meminimalisir terjadinya cidera pada anak yang melakukan lompat tali dengan kedua kaki. Cara melakukan permainan ini adalah siswa akan diberikan tali sepanjang 2 meter, pegang dengan kuat kedua ujung tali tersebut, kemudian letakkan bagian tengah tali dibelakang kedua kaki. Mulai dengan menggerakkan tali dari belakang diayunkan ke atas kemudian ke depan melewati atas kepala dan ketika tali akan menyentuh ujung kaki maka segera melompat dengan kedua kaki lalu diikuti dengan menekukkan kedua lutut. Lakukan secara berulang-ulang hingga mencapai 10 lompatan. Sasaran permainan ini adalah mengembangkan daya tahan, keberanian melakukan lompatan, mengembangkan koordinasi tangan dan kaki, meningkatkan sportivitas dalam penghitungan jumlah lompatan, kejujuran, dan mampu memperbaiki diri ketika salah melakukan lompatan.

2)      Permainan 2: melemparkan tali ke udara dan menangkapnya kembali
Anak mengambil posisi berdiri dengan sikap sempurna dan kedua kaki sedikit dibuka lebar agar badan berada dalam keseimbangan yang maksimal. Cara memainkan permainan ini adalah pegang tali dengan satu tangan dan keadaan tali di gulung kecil kemudian dilemparkan ke atas setinggi-tingginya dan sebelum tali turun menyentuh tanah maka tali harus segera ditangkap. Jika tidak dapat menangkap tali yang dilemparkan ke atas, maka akan mendapatkan hukuman berupa menyanyikan lagu-lagu wajib, seperti Indonesia raya, padamu negeri, ibu kartini, dan lain-lain. Sasaran dalam permainan ini adalah mengembangkan kekuatan lengan, membantu mengembangkan keseimbangan kecepatan reaksi dan koordinasi tangan kaki, mengembangkan sikap bertanggung jawab terhadap lemparan, sportivitas, berani mengakui kesalahan ketika tidak dapat menangkap lemparan tali, dan mengembangkan sikap optimis dapat melakukan lemparan dan menangkapnya sebelum tali menyentuh tanah.

3)      Permainan 3: bergerak bersama di dalam satu lingkaran tali
Permainan ini dilakukan secara berkelompok, tiap kelompok terdiri atas 6 siswa. Cara melakukan permainan ini adalah tali yang di ikat ujung dan ujungnya kemudian membentuk lingkaran. Siswa-siswa akan berdiri di dalam lingkaran tali tersebut dengan saling membelakangi, siswa harus dapat bergerak dari tempat start menuju tempat finish dengan posisi melingkari tali. Tali tidak boleh putus atau jatuh menyentuh tanah, sehingga setiap siswa harus mampu bekerjasama agar dapat menyampai finish dengan tali tetap melingkar. Sasaran dalam permainan ini adalah mengembangkan kerja sama kelompok, yakin akan kemampuannya untuk menyelesaikan tantangan, sportivitas, kejujuran, menyadari setiap siswa memiliki perasaan, dan mengembangkan rasa percaya diri bahwa masing-masing mampu melakukan permainan.

4)      Permainan 4: saling tarik menarik tali lurus di depan dada
Permainan ini dilakukan oleh dua anak yang saling berhadapan dengan jarak sekitar 3-4 meter. Cara bermain permainan ini yaitu tali dipegang dengan kuat, kedua tangan lurus ke depan sambil memegang tali dan mulailah saling menarik tali dengan kuat dengan hitungan satu sampai delapan. Artinya saling tarik dengan kuat selama hitungan tersebut dimulai sampai selesai. Lakukan sampai tiga kali sehingga bisa merasakan hasilnya di lengan atas dan bawah serta bahu. Sasaran dalam permainan ini adalah mengembangkan kekuatan tangan dan lengan serta bahu, mengembangkan keseimbangan dan daya tahan, menghilangkan sifat egois dan ingin selalu menang karena aktivitas ini bukan untuk menentukan kalah menang tetapi lebih kepada efek-efek yang diperoleh dan kerja sama serta saling percaya.  

5)      Permainan 5: menarik teman yang terbaring menggunakan tali
Permainan ini dilakukan berpasangan. Aturan permainan ini yaitu anak berdiri dan pasangannya tiduran, kemudian salah satu anak menarik pasangannya yang tiduran tersebut. Gunakan tali untuk menarik pasangannya tersebut dengan cara anak-anak sendiri. Anak bisa menentukan sendiri siapa yang menjadi penarik dan siapa yang berbaring di lantai. Aturan keselamatan saat permainan adalah pada saat melakukan tarikan pastikan yang menarik dan yang ditarik sama-sama siap, bukan tiba-tiba menarik pasangan sehingga menyebabkan salah satu pasangan itu kaget atau menyebabkan salah satu merasa sakit.  Sasaran dalam permainan ini adalah mengembangkan kekuatan kaki dan tangan, mengembangkan sikap saling percaya pada teman dan kerjasama, meningkatkan komunikasi, meningkatkan kepercayaan diri untuk menyelesaikan tantangan, dan mendorong sikap kreativitas anak dalam menyelesaikan tantangan.

Olahraga permainan menggunakan cone yaitu:
1)      Permainan 1: membentuk piramida dengan media cone
Permianan ini dilakukan secara perorangan. Cara memainkan permainan ini adalah; cone diletakkan menyebar atau acak dalam sebuah garis yang membentuk persegi panjang dengan panjang 5 meter dan lebar 3 meter. Siswa harus mampu membuat piramida dengan jumlah cone sebanyak 15 buah. Sasaran permainan ini adalah untuk merangsang otak dalam berpikir membuat piramida, mengembangkan kemampuan berpikir,kreativitas anak, mengembangkan rasa percaya diri, mampu melakukan dan bertanggung jawab atas piramida yang dibuat, dan yakin akan kemampuannya untuk menyelesaikan penyusunan piramida.

2)      Permainan 2: membawa cone di atas kepala
Permainan ini dilakukan secara perorangan. Cara permainan ini adalah cone yang disediakan sebanyak 3 buah. Cone harus dibawa dari garis starts menuju ke garis finish dengan diletakkan di atas kepala dan tangan tidak boleh menyentuh cone. Siswa dibebaskan dalam membawa cone baik dengan langkah panjang ataupun langkah pendek. Sasaran dalam permainan ini adalah siswa dapat mengembangkan keseimbangan badan, kontrol emosi atas benda yang berada di kepalanya, rasa percaya diri, dan keyakinan akan mampu melakukan permainan dengan baik.

3)      Permainan 3: melindungi cone
Permainan ini dilakukan secara berkelompok, masing-masing kelompok beranggotankan 5 orang. Setiap kelompok diberikan 5 cone dengan warna yang berbeda-beda, masing-masing anak memegang satu cone. Cara bermain permainan ini adalah: dua kelompok yang bermain akan melakukan undian, kelompok yang menang akan melindungi cone dan kelompok yang kalah akan berusaha untuk mengambil cone yang dilindungi. Cone diletakkan di tengah lingkaran berdiameter 2 meter. Kelompok pemenang akan berdiri menggelilingi lingkaran untuk menjaga cone, agar cone tidak diambil oleh kelompok kalah. Jika cone dapat diambil oleh kelompok kalah maka yang memegang cone atas warna yang diambil kelompok kalah, maka kelompok menang yang memegang cone warna tersebut tidak dapat bermain lagi. Sasaran dalam permainan ini adalah mengembangkan kerja sama kelompok untuk saling melindungi cone, mengembangkan sportivitas dan kejujuran, bertanggung jawab atas tugas yang diberikan, keyakinan mampu melindungi cone, dan mengontrol emosi ketika menghadapi kekalahan ataupun kemenangan.

4)      Permainan 4: Menutup mata menggunakan kain dalam mengambil cone
Permainan ini dilakukan secara berpasangan. Cara bermain pada permainan 4 ini yaitu cone akan diletakkan sembarang oleh guru, misalnya di tengah ruangan dan pinggir ruangan. Guru akan memberikan aba-aba untuk memulai mencari cone yang diletakkan dalam suatu ruangan. Salah satu anak akan ditutup matanya menggunakan kain dan satu anak lagi akan memberikan petunjuk arah mengenai letak cone tersebut. Setelah anak mendapatkan cone, anak belum boleh membuka penutup mata hingga mencapai garis finish. Aturan keselamatan mengenai permainan ini, perlunya dilakukan dalam suatu ruangan yang bebas hambatan. Artinya anak dapat bergerak dalam suatu ruangan tanpa harus khawatir akan mencederai dirinya sendiri. Sasaran dalam permainan ini adalah anak akan mendapatkan banyak pengalaman gerak, mengembangkan pemahaman keruangan bagi dirinya sendiri (self space awareness), mengembangkan daya ingat (long term memories), mengembangkan ketepatan (accuracy), mengembangkan daya tahan (endurance), meningkatkan kerja sama dalam tim (time work), meningkatkan rasa kepercayaan diri dan keyakinan diri (self confidence), sikap saling menghargai dalam tim, siswa mampu mengontrol emosi, dan memberikan kesenangan pada diri siswa (happiness).

5)      Permainan 5: melewati cone dengan mata tertutup
Permainan ini dilakukan secara berpasangan. Cara bermain dalam permainan 5 yaitu anak yang tertutup matanya menggunakan kain akan berusaha mencapai finish dengan tidak menginjak cone yang telah diletakkan sesuai jalur, dan teman dalam pasangannya akan memberikan instruksi untuk melakukan hal terbaik agar tidak menginjak cone. Jika anak menginjak cone maka anak akan mendapatkan hukuman berupa menyayikan lagu wajib untuk menanamkan jiwa nasionalisme. Aturan keselamatan dalam permainan ini perlunya dilakukan dalam suatu ruangan yang bebas hambatan. Artinya anak dapat bergerak dalam suatu ruangan tanpa harus khawatir akan mencederai dirinya sendiri. Pada saat melakukan aktivitas gerak ini harus dilakukan pemastian apakah teman sudah siap atau belum dalam satu kelompok. Hal ini perlu dipastikan mengingat faktor keselamatan dalam permainan ini sangat penting. Sasaran dalam permainan ini yaitu mengembangkan kemampuan membuat strategi dalam kelompok (strategy), anak akan mendapatkan banyak pengalaman gerak, mengembangkan pemahaman keruangan bagi dirinya sendiri (self space awareness), mengembangkan daya ingat (long term memories), mengembangkan ketepatan (accuracy), mengembangkan daya tahan (endurance), meningkatkan kerja sama dalam tim (time work), meningkatkan rasa kepercayaan diri dan keyakinan diri (self confidence), sikap saling menghargai dalam tim, siswa mampu mengontrol emosi, dan memberikan kesenangan pada diri siswa (happiness).

BAB III
PEMBAHASAN
            Self concept atau konsep diri adalah segala sesuatu mengenai diri sendiri. Ketika siswa menunjukkan sikap yang negatif, pada dasarnya tidak ada perhatian dan kasih saying terhadap orang lain diluar dirinya sendiri. Siswa yang memiliki konsep diri negatif hanya memeperhatikan dirinya sendiri sepenjang waktu, tidak pernah merasa puas, selalu takut kehilangan sesuatu, takut tidak diakui, iri terhadap teman yang memiliki kelebihan. Keadaan ini berakar pada ketidaksenangan pada diri sendiri. Sekolah merupakan wadah bagi siswa untuk mengembangkan self concept dengan bantuan para guru terutama guru pendidikan jasmani, kesehatan, dan rekreasi untuk berusaha membangun konsep diri siswa yang positif. Hal ini perlu dilakukan agar siswa dapat bertindak atau bertingkah laku positif demi menjadi pribadi yang baik. Dari beberapa identifikasi mengenai banyaknya siswa yang memiliki konsep diri negatif, perlunya dilakukan treatment atau latihan. Latihan yang baik untuk anak sekolah dasar kelas atas sesuai dengan karakteristik dan kurikulum adalah menggunakan permainan. Hal ini sependapat dengan Hans Daeng (dalam Andang Ismail, 2009: 17) permainan adalah bagian mutlak dari kehidupan anak  dan permainan merupakan bagian integral dari proses pembentukan kepribadian anak.  Siswa sekolah dasar kelas atas telah mampu melakukan hipotesa atau menduga kesimpulan pada tingkatannya, kritis, dan mampu beradaptasi dengan baik. Menurut Sukintaka (1979:93) pada anak tingkat umur10-12 tahun mereka telah menjadi lebih bersifat kritis, terutama terhadap prestasi dan kemampuannya berprestasi. Menurut Piaget (Hergenhan & Olson, 2014:320) sekitar umur 10-12 tahun anak memasuki formal operationsyang ditandai dengan bisa menangani situasi hipotesis dan proses berpikir mereka tidak lagi tergantung hanya pada hal-hal yang langsung dan real. Dapat disimpulkan bahwa pemberian konsep diri tepat dilakukan pada anak Sekolah Dasar kelas atas.
            Proses pembelajaran pendidikan jasmani, kesehatan, dan rekreasi dengan metode permainan yang mengandung nilai konsep diri atau self concept masih terbatas, hal ini ditandai dengan kurangnya pemahaman guru terhadap perkembangan siswa, kurangnya pemahaman siswa terhadap nilai-nilai konsep diri, dan minimnya variasi permainan yang diberikan, sehingga penulis berusaha untuk memberikan kontribusi pemahaman mengenai permainan yang dapat diberikan kepada siswa dengan tidak menghilangkan nilai-nilai konsep diri. Permainan yang akan diberikan menggunakan tali dan cone, hal ini dilakukan karena tali dan cone adalah suatu benda yang sering dilihat dan lazim digunakan, sehingga siswa akan mudah untuk berinteraksi menggunakan kedua benda tersebut. Faktor keselamatan menjadi point penting dalam pemberian permainan pada anak, karena jika anak mengalami sesuatu hal yang mengancam keselamatannya anak akan cenderung mengalami trauma dan akan berakibat pada terhambatnya perkembangan motorik anak serta nilai konsep diri tidak akan tertanam pada diri anak secara baik.
Penggunaan tali dan cone pada dasarnya dapat dikembangkan dengan beragam dan variasi kegiatan gerak dan permainan yang menyenangkan bagi siswa. Bentuk-bentuk permainan yang akan diberikan mengadopsi dari dari Faruq (2009), permainan pengembangan kecerdasan kinestetika anak dengan media tali dan meningkatkan kecerdasan kinestetika melalui 70 permainan dengan cone. Bentuk permainan yang diberikan mengadopsi dari buku pengembangan kinestetik anak, karena anak yang memiliki kecerdasan kinestetik memiliki kemampuan untuk menggabungkan antara fisik dan pikiran mampu memperkuat rasa kepercayaan diri pada diri anak. Disampaikan Suyadi (2014:132), anak yang memiliki keterampilan mengkoordinasikan pikiran dan organ tubuh dalam bentuk berbagai gerakan, mampu memperkuat rasa percaya diri, daya optimisme dalam meraih keberhasilan, serta mampu mengembangakan kecerdasan emosionalnya. Berikut adalah bentuk-bentuk permainan menggunakan tali dan cone.
Permainan menggunakan tali:
1)      Melompat tali dengan dua kaki
2)      Melemparkan tali ke udara dan menangkapnya kembali
3)      Bergerak bersama di dalam satu lingkaran tali
4)      Saling tarik menarik tali lurus di depan dada
5)      Menarik teman yang terbaring menggunakan tali

Permainan menggunakan cone:
1)      Membentuk piramida dengan media cone
2)      Membawa cone di atas kepala
3)      Melindungi cone
4)      Menutup mata menggunakan kain dalam mengambil cone
5)      Melewati cone dengan mata tertutup
Semua permainan yang diberikan kepada siswa mengandung nilai-nilai konsep diri. Pada awal sebelum proses pembelajaran dimulai, guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan menjelaskan permainan yang akan diberikan. Hal ini bertujuan untuk memberikan pemahaman siswa terhadap apa yang akan dipelajari. Selama proses pembelajaran siswa akan mendapatkan bimbingan dari guru, untuk meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan seperti mencegah cedera pada siswa dan penyampaian nilai konsep diri yang tidak sesuai. Pada akhir masing-masing permainan, siswa yang tidak dapat menyelesaikan target game akan diberikan hukuman. Hukuman yang diberikan berupa menyanyi lagu-lagu wajib di depan teman-teman. Hukuman yang diberikan untuk menanamkan nilai tanggung jawab pada diri siswa. Harapan dari pemberian permainan yang mengandung nilai konsep diri pada siswa Sekolah Dasar kelas atas adalah untuk membangun konsep diri siswa agar bertindak atau bertingkah laku positif dan agar siswa dapat mengimplementasikan untuk kehidupan berikutnya.


BAB IV
KESIMPULAN
            Usia siswa di sekolah dasar merupakan usia yang sangat potensial untuk pemberian dasar pengetahuan, pengembangan konsep diri, dan nilai-nilai moral. Konsep diri adalah merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi interpersonal, karena setiap siswa akan bertingkah laku sesuai dengan konsep dirinya. Jika siswa memiliki konsep diri yang baik, maka dalam kehidupan selanjutnya siswa akan bertingkah laku baik begitu juga sebaliknya.
Konsep diri tidak berkembang dengan sendirinya, tetapi berkembang dengan adanya interaksi dengan individu yang lain dan lingkungan sosial. Pada kurikulum pendidikan sekolah dasar, ada pelajaran pendidikan jasmani, kesehatan, dan rekreasi. Pendidikan jasmani merupakan media untuk mendorong perkembangan intelektual keterampilan motorik, kemampuan fisik, pengetahuan, penalaran, penghayatan nilai, sikap, mental, emosional, spiritual, sosial, dan pembiasaan pola hidup sehat yang bermuara untuk merangsang pertumbuhan serta perkembangan yang seimbang. Namun, pada pembelajaran pendidikan jasmani, kesehatan, dan rekreasi aspek yang terpenting adalah peserta didik belum diberikan olahraga kecabangan dan hanya pada permainan. Permainan merupakan media penyampaian gerak dasar keterampilan dan penyampaian nilai-nilai moral. Permainan menggunakan tali dan cone dapat diberikan kepada siswa, karena faktor resiko cedera sangat kecil, permainan ini akan membuat siswa merasa senang dan bahagia, dan permainan ini mengandung nilai-nilai konsep diri.
Dengan demikian dapat disimpulkan dari hasil pembahasan mengenai permainan tali dan cone yang diberikan kepada anak sekolah dasar kelas atas dengan didukung beberapa hasil penelitian dan teori yang terkait, bahwa permainan menggunakan tali dan cone efektif diberikan untuk memberikan pondasi self concept pada anak sekolah dasar kelas atas.




DAFTAR PUSTAKA
Ajay. (2011). Importance of physical education, games, & sports activities. India: International Journal vol 2 (11), 2011, 570-573.

Bredekamp, Sue & Copple. (1997). Developmentally appropriate in early childhood program. Woshington:  National association for the education of young children.

Chunlei. (2009). Specifics for teneralists: teaching elementery physical education. Canada: Brock University. International Electronic Journal of Elementery Education. Vol 1. Issue 3. 2009.

Faruq, M Muhyi. (2009). Meningkatkan kecerdasan kinestetik melalui 70 permainan dengan cone. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana.

Faruq, M Muhyi. (2009). Permainan pengembangan kecerdasan kinestetika anak dengan media tali. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana.

Febrianti, Rima. (2013). Pengembangan materi atletik melalui permainan atletik three in one untuk siswa SD kelas V. Semarang: PPS UNNES. Journal of Physical Education and Sports. 2-1-2013.

Ghufron, Nur dan Rini Risnawati. (2014). Teori-teori psikologi. Yogyakarta: Ar-ruzz media.

Hergenhahn, B.R., Olso, M.H. (2014).Theories of leaning (teori belajar) edisi ketujuh. Jakarta: Prenadamedia Group.

Hurlock, E.B. (1978). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan.Jakarta: Erlangga.

Husdarta. (2010). Psikologi olahraga. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Ismail, andang. (2009). Education Games: Pemanduan praktis permainan yang menjadi anak anda cerdas, kreatif, dan sholeh.Yogyakarta:Proumedia

Kahan, David. (2008). Recess, extracurricular activities, and active classrooms: means for increasing elementary school students physical activity. Journal of Physical Education, Recreation and Dance. 79. 2. ProQuess pg.26. 2008.
Moyles, Janet R. (1999). Just Playing : The Role and Status of Play in Early Chillhood Education. Philadhelpia : Open University Press.
Orunaboka. (2011). The teaching of physical education in primary school as the foundation of sports development.Nigeria: Journal of Physical Education and Sport. Pp 138-141.2011.

Paturusi, Achmad. (2012). Manajemen pendidikan jasmani dan olahraga. Jakarta: Rineka Cipta.

Quinn, Ronald dan David Carr. (2006). Developmentally approprite soccer activities for elementary school children. Journal of Physical Education, Recreation, and Dance. JOPERD. Volume 77 No 5. 2006.

Rahayu, Ega Trisna. (2013). Strategi pembelajaran pendidikan jasmani. Bandung: Alfabeta.

Saputra, Yudha. (2001). Pembelajaran atletik di Sekolah Dasar: sebuah pendekatan pembinaan gerak dasar melalui permainan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Olahraga.

Satya, Wira Indra. (2006). Membangun Kebugaran Jasmani dan Kecerdasan Melalui Bermain, Depdiknas, Dirjen Dikti, Direktorat Ketenagaan.

Suganda, Mikkey Anggara & Suharjana. (2013). Pengembangan model pembelajaran bolavoli pada siswa sekolah dasar kelas atas. Yogyakarta: PPS Universitas Negeri Yogyakarta. Jurnal Keolahragaan, volume 1 – Nomor 2.

Sukintaka dkk. (1979). Permainan dan metodik buku II untuk SGO. Jakarta: Depdikbud.

Wawan. (2009). Hakikat permainan dan pengertian permainan. Diambil pada tanggal 28 Februari 2015, dari http://kangwawantea.blogsport.com.

Weinberg, R.S dan Gould, D. 2005. Foundations of sport and exercise psychology. Champaign,iL: Human Kinetucs.

Yoyo Bahagia dan Adang Suherman. (2000). Prinsip-prinsip pengembangan dan modifikasi cabang olahraga. Jakarta: Depdikbud.

Yusuf, Syamsu dan Juntika Nurihsan. (2007). Teori kepribadian. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.