Sabtu, 03 Oktober 2015

bermain dan perkembangan anak usia dini

BERMAIN DAN PERKEMBANGAN ANAK
Oleh: Margi Asih

ABSTRAK
Anak adalah individu yang unik, yang mengalami tumbuh kembang secara berkesinambungan atau terus-menerus. Pada usia 0-6 tahun anak-anak selalu melakukan aktivitas bermain. Bermain dan anak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Aktivitas bermain dilakukan anak dan aktivitas anak selalu menunjukkan kegiatan bermain. Bermain dan anak sangat erat kaitannya. Hasil penelitian membuktikan 50% kemampuan belajar seseorang ditentukan pada empat tahun pertaman dan membentuk 30% yang lainnya sebelum mencapai usia 8 tahun. Hasil studi di bidang neurologi mengungkapkan bahwa ukuran otak anak pada usia 2 tahun telah mencapai 75% dari ukuran otak ketika anak tersebut dewasa dan pada usia 5 tahun mencapai 90% dari ukuran otak setelah ia dewasa, sehingga para psikologi menyebutkan masa ini sebagai masa The golden age.
Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Pendidikan anak usia dini baik itu taman kanak-kanak, paud, ataupun kelompok bermain, diharapkan memberikan bentuk-bentuk permainan yang edukatif untuk merangsang perkembangan anak baik secara fisik, motorik, sosial, bahasa, maupun emosional.
Menurut beberapa para ahli, aktivitas bermain bukan hanya untuk kesenangan semata, namun untuk merangsang respon anak terhadap sesuatu. Respon tersebut yang nantinya akan berakibat pada perkembangan anak. bermain merupakan suatu aktivitas yang menyenangkan bagi semua orang. Bermain akan memuaskan tuntutan perkembangan motorik, kognitif, bahasa, sosial, nilai- nilai dan sikap hidup. Bermain adalah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa pertimbangan hasil akhir. Bermain dilakukan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan atau takanan dari luar atau kewajiban.
Dengan demikian, aktivitas bermain dan perkembangan anak saling mempengaruhi terutama dalam perkembangan fisik motorik, bahasa, sosial, kognitif, dan emosional.

Kata kunci: anak usia dini, pendidikan anak usia dini, bermain, dan
                              perkembangan anak.







PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Bermain dan anak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Aktivitas bermain dilakukan anak dan aktivitas anak selalu menunjukkan kegiatan bermain. Bermain dan anak sangat erat kaitannya. Oleh karena itu, salah satu prinsip pembelajaran di pendidikan anak usia dini adalah bermain dan belajar. Bermain merupakan kegiatan yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan fisik, sosial, emosi, intelektual, dan spiritual anak. Dengan bermain anak dapat mengenal lingkungan, berinteraksi, serta mengembangkan emosi dan imajinasi dengan baik. Pada dasarnya anak-anak gemar bermain, bergerak, bernyanyi dan menari, baik dilakukan sendiri maupun berkelompok. Bermain adalah kegiatan untuk bersenang-senang yang terjadi secara alamiah. Anak tidak merasa terpaksa untuk bermain, tetapi mereka akan memperoleh kesenangan, kanikmatan, informasi, pengetahuan, imajinasi, dan motivasi bersosialisasi Bermain memiliki fungsi yang sangat luas, seperti untuk anak, untuk guru, orang tua dan fungsi lainnya.bagi anak. Dengan bermain dapat mengembangkan fisik, motorik, sosial, emosi, kognitif, daya cipta (kreativitas), bahasa, perilaku, ketajaman pengindraan, melepaskan ketegangan, dan terapi bagi fisik, mental ataupun gangguan perkembangan lainnya.
Konsep belajar dan bermain pada pendidikan anak usia dini (PAUD), kelompok bermain (KB), Taman Kanak-Kanak (TK), dan Tempat Penitipan Anak (TPA) telah dilaksanakan dengan baik. Guru dan orang tua telah memahami fungsi bermain untuk perkembangan anak. Bermain memiliki fungsi yang sangat luas, seperti untuk anak, untuk guru, orang tua dan fungsi lainnya.bagi anak. Dengan bermain dapat mengembangkan fisik, motorik, sosial, emosi, kognitif, daya cipta (kreativitas), bahasa, perilaku, ketajaman pengindraan, melepaskan ketegangan, dan terapi bagi fisik, mental ataupun gangguan perkembangan lainnya. Fungsi bermain bagi guru dan orangtua adalah agar guru dan orangtua dapat memahami karakter anak, jalan pikiran anak, dapat intervensi, kolaborasi dan berkomunikasi dengan ank. Fungsi lainnya adalah rekreasi, penyaluran energi, persiapan untuk hidup dan mekanisme integrasi (penyatuan) dengan alam sekitar.
Permasalahannya hingga saat ini, pada pendidikan anak usia dini, taman kanal-kanak, maupun tempat penitipan anak, permainan yang diberikan oleh guru beberapa diantaranya kurang kreatif, inovatif, dan tidak sesuai perkembangan anak. Dalam usianya, setiap anak berbeda dalam perkembangannya. Ada yang cepat dan ada yang lambat dalam proses perkembangan anak. Seharusnya guru memahami hal tersebut. Apabila permainan yang diberikan dalam bermain tidak sesuai dengan perkembangannya, hal yang akan terjadi justru akan menyebabkan terganggunya perkembangan anak. Seharusnya anak diberikan permainan sesuai dengan perkembangan usia anak. Hal ini ditujukan agar proses perkembangan anak sesuai dengan tahapnya.
Permasalahan selanjutnya yaiitu di sekolah-sekolah terutama di sekolah dasar, kegiatan bermain masih dianggap kurang penting, sehingga belum ada program yang terencana dan terstruktur. Pembelajaran terpadu (tematik) yang menggabungkan beberapa bidang studi di kelas rendah belum memasukkan unsur-unsur permainan, biasanya kegiatan bermain disisipkan dalam pelajaran olah raga (pendidikan jasmani). Pendidikan jasmani (Penjas) merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara keseluruhan dan sangat strategis digunakan untuk mendorong perkembangan kemampuan motorik, kemampuan fisik, penalaran dan penghayatan nilai (mental, emosional, spiritual, dan sosial) serta pembiasaan hidup sehat. Penjas sebagai bidang studi berorientasi pada kebutuhan gerak siwa juga dapat diintegrasikan dengan bidang studi lain seperti matematika, IPA, bahasa, IPS dan agama.
Seiring dengan perkembangan zaman, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan permainan tergeser dengan permainan modern yaitu games aplikasi pada handphone atau gadget. Penggunaan gadget yang berlebihan pada anak akan berdampak negatif karena dapat menurunkan daya konsentrasi dan meningkatkan ketergantungan anak untuk dapat mengerjakan berbagai hal yang semestinya dapat dilakukan sendiri. Dampak lainnya adalah semakin terbukanya akses internet dalam gadget yang menampilkan segala hal yang semestinya belum waktunya dilihat oleh anak-anak. Menurut sudut pandang ilmu kesehatan jiwa, pengunaan gadget usia dini tidak disarankan, akibat hal ini anak tidak dapat belajar dengan cara alami bagaimana berkomunikasi dan sosialisasi. Anak juga tidak mampu mengenali dan berbagi aneka emosi, misal simpati, sedih, atau senang, alhasil anak tidak dapat meresponi hal yang ada di sekelilingnya baik secara emosi maupun verbal. Terbatasnya respon anak akan mengganggu perkembangan kemampuannya untuk bergaul dan beradaptasi. Permasalahan yang terjadi pada generasi saat ini adalah pemberian gadget yang terlalu dini di era globalisasi ini menyebabkan dampak negatif terhadap perkembangan anak di usia dini. Banyak anak yang mulai kecanduan gadget dan lupa bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya yang berdampak psikologis terutama krisis percaya diri, juga pada perkembangan fisik anak.
Dengan demikian, perlunya guru, anak, dan orang tua memahami arti pentingnya bermain yang sesuai dengan perkembangan anak. Perkembangan anak yang dimaksud bukan hanya pada motoriknya saja tetapi secara keseluruhan baik secara kognitif (pengetahuan), afektik (sikap), motorik, psikomotor (keterampilan), sosial, emosi, dan mental.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimana pengaruh bermain terhadap perkembangan anak?”.

C.      Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengkaji manfaat bermain dalam proses perkembangan anak baik secara afektif, kognitif, psikomotor, sosial, emosi, dan motorik.

KAJIAN TEORI
A.     Hakekat Pendidikan Anak Usia Dini
Dalam berbagai literatur tentang anak terbatas pada usia atau umur. Ada beberapa pendapat mengenai siapa yang disebut sebagai anak, yaitu Huck dkk (dalam Martuti, 2009:2) menyatakan bahwa yang dikategorikan sebagai anak adalah anak-anak usia 1 hingga kurang lebih 12 tahun. Tahapan usia anak itu sendiri dibedakan ke dalam tahap-tahap sebagai berikut: (1) Sebelum sekolah/masa pertumbuhan (usia 1-2 tahun), (2) Prasekolah dan taman kanak-kanak (usia 3-5 tahun), (3) Masa awal sekolah (usia 6-7 tahun), (4) Elementer tengah (usia 8-9 tahun), (5) Elementer akhir (usia 10-12 tahun). Sedangkan menurut Piaget ( dalam Robert V. Kail, 2010:171) membagi perkembangan intelektual anak ke dalam empat tahapan dan tiap tahapan memiliki karekteristik berbeda. Keempat perkembangan intelektual itu adalah:
1)     Tahap sensori-motor (usia 0-2 tahun)
2)     Tahap praoperasional (usia 2-6 tahun)
3)     Tahap operasional konkret (usia 7-11 tahun)
4)     Tahap operasional formal (usia 11-12 tahun ke atas)

Dalam batasan yang diberikan oleh The National Assosiation for The Education of Young Children (NAEYC) dikatakan bahwa anak usia dini (early childhood) adalah anak yang sejak dilahirkan sampai berusia delapan tahun (Bredekamp 1992:1) Dengan pengertian ini NAEYC mengembangkan berbagai program yang sesuai dengan tahap perkembangan anak sejak seorang anak itu dilahirkan sampai berusia delapan tahun. Sebelum program tersebut dirancang, NAEYC terlebih dahulu menerangkan berbagai praktek kegiatan yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan anak meskipun kegiatan tersebut sudah lama dilakukan di berbagai negara yang ada di dunia. Dalam psikologi perkembangan dan berdasarkan riset neurology, anak usia dini dikatakan sebagai anak yang berumur 0-8 tahun (Dedi Supriadi 2003:1). Pertumbuhan dan perkembangannya diperhatikan dengan cara memberi perlakuan yang baik berupa pendidikan usia prasekolah atau pendidikan sekolah di kelas-kelas awal Sekolah Dasar (SD). Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa anak usia dini adalah anak yang sejak dilahirkan sampai berusia dua enam tahun tahun (0-6 tahun) yang sedang mengalami proses tumbuh dan berkembang baik dari segi kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal (Maimunah Hasan, 2012:15). Menurut Ermawan Susanto (2014:2), pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pendidikan usia dini yaitu pendidikan yang ditujukan bagi anak sejak usia lahir hingga usia 6 tahun. Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan anak usia dini yaitu suatu jenjang pendidikan guna merangsang pertumbuhan dan perkembangan anak pada usia 0-6 tahun.
Kemampuan terhebat dari manusia dalam menyerap berbagai pelajaran berlangsung ketika manusia masih berusia di bawah lima tahun. Di Indonesia, pada umumnya seorang anak memulai mengikuti program pendidikan sejak menginjak usia 2 tahun bahkan 4 tahun. Hal ini didukung oleh Gordon dan Jeanette (dalam Martuti, 2009:17), bahwa penelitian membuktikan 50% kemampuan belajar seseorang ditentukan pada empat tahun pertaman dan membentuk 30% yang lainnya sebelum mencapai usia 8 tahun. Hasil studi di bidang neurologi mengungkapkan bahwa ukuran otak anak pada usia 2 tahun telah mencapai 75% dari ukuran otak ketika anak tersebut dewasa dan pada usia 5 tahun mencapai 90% dari ukuran otak setelah ia dewasa, sehingga para psikologi menyebutkan masa ini sebagai masa The golden age (Suyadi, 2014:3).
Pada usia 4-6 tahun, merupakan masa peka bagi anak. Anak mulai sensitive untuk menerima berbagai upaya perkembangan seluruh potensi anak. Masa peka adalah masa terjadinya pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis yang siapa merespons stumulasi yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini merupakan masa untuk meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan kemampuan fisik, kognitif, bahasa, sosial emosional, konsep diri, disiplin, kemandirian, seni, moral, dan nilai-nilai agama. Oleh sebab itu dibutuhkan kondisi dan stimulasi yang sesuai dengan kebutuhan anak agar pertumbuhan dan perkembangan anak dapat optimal.

B.     Hakekat Bermain
1.      Pengertian Bermain
Setiap anak di dunia ini memiliki hak untuk bermain. Bermain juga adalah kegiatan pokok anak. Dengan bermain anak mendapatkan pengetahuan dan pengalaman yang membantu perkembangannya untuk menyiapkan diri dalam kehidupan selanjutnya. Para ahli pendidikan menganggap bahwa bermain sebagai kegiatan yang memiliki nilai praktis, artinya bermain digunakan sebagai media untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan tertentu pada anak. Bermain merupakan jembatan bagi anak dari belajar informal menjadi formal. Dengan bermain, anak dapat melakukan kegiatan sehingga semua aspek perkembangan dapat berkembang secara maksimal.  Bermain bukan hanya menjadi kesenangan saja, tetapi juga suatu kebutuhan yang mau tidak mau harus terpenuhi. Menurut Cony Semiawan (dalam Ismatul Khasanah dkk,2011:94) dalam kegiatan bermain, seluruh tahapan perkembangan anak dapat berfungsi dan berkembang dengan baik dan hasil dari perkembangan yang baik itu akan muncul dan terlihat pada saat si anak menginjak masa remaja. Bermain, atau permainan sebagai aktivitas terkait dengan keseluruhan diri anak, bukan hanya sebagian, namun melalui permainan (pada saat anak bermain) anak akan terdorong mempraktekkan keterampilannya yang mengarahkan perkembangan kognitif anak, perkembangan bahasa anak, perkembangan psikomotorik, dan perkembangan fisik. Pengalaman bermain akan mendorong anak untuk lebih kreatif. Mulai dari perkembangan emosi, kemudian mengarah ke kreativitas bersosialisasi.
Menurut Moeslichatoen (dalam Simatupang, 2005), bermain merupakan suatu aktivitas yang menyenangkan bagi semua orang. Bermain akan memuaskan tuntutan perkembangan motorik, kognitif, bahasa, sosial, nilai- nilai dan sikap hidup. Bermain adalah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa pertimbangan hasil akhir. Bermain dilakukan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan atau takanan dari luar atau kewajiban. Piaget menjelaskan bahwa bermain terdiri atas tanggapan yang diulang sekedar untuk kesenangan fungsional. Menurut Bettelheim, kegiatan bermain adalah kegiatan yang tidak memiliki peraturan kecuali yang ditetapkan pemain sendiri dan ada hasil akhir yang dimaksudkan dalam realitas luar. (Hurlock, 1995; 320 dalam zulvia Trinova, 2012:210). Bermain diartikan sebagai suatu kegiatan atau tingkah laku yang dilakukan anak secara sendirian atau berkelompok dengan menggunakan alat atau untuk mencapai tujuan tertentu (Soegeng Santoso dalam Rani Yulianti, 2012: 7). Dengan bermain anak-anak akan berusaha untuk memiliki keinginan dan mencapai keinginannya. Melalui bermain, semua aspek perkembangan anak dapat ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas anak dapat berekspresi dan bereksplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui dan menemukan hal-hal baru. Bermain juga dikatakan suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberikan kesenangan maupun mengembangkan imajinasi yang lebih mendominan pada belahan otak kiri anak usia dini (Anggani Sudono, 2000:5).
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa bermain adalah kegiatan yang menyenangkan bagi anak tanpa paksaan guna mengembangkan kemampuan fisik, kognitif, afektif, sosial emosional, moral, dan motorik.

2.      Fungsi dan Manfaat Bermain
Menurut Ismatul Khasanah, Agung Prasetyo & Ellya Rakhmawati (2011:94-95), bermain memiliki fungsi yang sangat luas bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, baik secara fisik, kognitif, bahasa, sosial emosional, maupun psikomotorik. Perkembangan secara fisik, seperti keterampilan motorik kasar, menjadi lebih fleksibel dalam berlari, melompat, memanjat, berguling, berputar, dan lain sebagainya. Keterampilan motorik halusnya meningkat, pada saat anak menyentuh, meraba, memegang suatu benda (alat permainan), secara spontan hal ini akan mengantarkan anak dalam kesiapan menggambar, mewarnai, memegang pensil atau krayon, menyuap makanan sendiri, mengikat tali sepatu dan lain-lain. Perkembangan kognitif, yaitu keterampilan anak dalam berfikir. Pada saat bermain dengan teman sebaya, anak akan belajar membangun pengetahuannya sendiri dari interaksi. Mereka dapat menyelesaikan masalah yang ditemukan pada saat bermain, sehingga anak dapat terlatih untuk berfikir logik. Bermain penting untuk Perkembangan bahasa anak. Pada saat anak bermain, ketika kemampuan kognitifnya tumbuh dan berkembang, anak mulai berfikir secara simbolik melalui pemerolehan dan penggunaan bahasa. Perkembangan psikologis yaitu pemahaman diri, ketika anak tumbuh secara kognitif dan fisik, ia akan mulai menyadari keberadaan dirinya. Dalam sosial emosional, yaitu kemampuan anak berbagi rasa, secara psikologis anak telah melewati masa-masa sulit (bereaksi dengan menangis) dan dapat menyampaikan pesan dan perasaannya, keinginannya, kemauannya dengan tepat. Dengan bermain anak dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, baik teman sebaya, ataupun orang dewasa. Keterampilan sosial ini akan terus bertambah ketika ia mulai berhubungan dengan lebih banyak orang lagi di lingkungan yang lebih luas.
Ada 5 (lima) manfaat nyata dari bermain, yaitu manfaat motorik, afektif, kognitif, spiritual, dan keseimbangan. Manfaat motorik adalah manfaat yang berhubungan dengan nilainilai positif mainan yang terjadi pada fisik/jasmaniah anak. Biasanya hal ini berhubungan dengan unsur-unsur kesehatan, keterampilan, ketangkasan, maupun kemmpuan fisik tertentu. Manfaat afeksi yaitu manfaat mainan yang berhubungan dengan perkembangan psikologis anak. Unsur-unsur yang mencakup dalam kelompok ini, antara lain naluri/insting, perasaan, emosi, sifat/karakter/ watak, maupun kepribadian seseorang. Manfaat kognitif adalah mannfaat mainan untuk perkembangan kecerdasan anak. Biasanya, ini berhubungan dengan kemampuan imajinasi, pembentukan nalar, logika, maupun pengetahuan-pengetahuan sistematis (zulvia Trinova, 2012:211).

3.      Ciri-Ciri Bermain dan Karakteristik Bermain
Bermain memiliki ciri-ciri yang khas yang membedakannya dari kegiatan lain. Kegiatan bermain pada anak-anak memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
a)      Bermain selalu menyenangkan (pleasurable), menikmatkan atau menggem-birakan (enjoyable).
b)     Bermain tidak bertujuan ekstrinsik, motivasi bermain adalah intrinsik dari diri anak.
c)      Bermain bersifat spontan dan sukarela, bukan karena terpaksa.
d)     Bermain melibatkan peran aktif semua peserta sesuai peran dan gilirannya masingmasing.
e)      Bermain bersifat fleksibel, anak dapat dengan bebas memilih dan beralih ke kegiatan bermain apa saja yang mereka inginkan. Adakalanya anak berpindah-pindah dari satu kegiatan bermain ke kegiatan bermain lainnya yang tidak terlalu lama (Tadkiroatun Musfiroh, 2005: 6 – 8).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Susanna Miliar et al; Garvey; Rubin; Fein; dan Vendenberg (dalam Rahardjo, 2007) mengungkapkan adanya beberapa ciri kegiatan permainan, yaitu : a.) Dilakukan berdasarkan motivasi instrinstik, maksudnya muncul atas keinginan pribadi serta untuk kepentingan sendiri. b) Perasaan dari orang terlibat dalam kegiatan bermain diwarnai oleh emosi-emosi positif. c). Fleksibilitas yang ditandai mudahnya kegiatan beralih dari satu aktifitas ke aktivitas lain. d). Lebih menekankan pada proses yang berlangsung dibandingkan hasil akhirnya. e) Bebas memilih, cirri ini merupakan elemen yang sangat penting bagi konsep bermain pada anak kecil f.) Mempunyai kualitas pura-pura. Kegiatan bermain mempunyai kerangka tertentu yang memisahkan dari kehidupan nyata sehari-hari.
                Bermain pada masa anak- anak mempunyai karakteristik tertentu yang membedakannya dari permainan orang dewasa. Menurut Hurlock (1995: 322- 326) karakteristik permainan pada masa anak- anak adalah sebagai berikut:
a)      Bermain dipenguhi tradisi. Anak kecil menirukan permainan anak yang lebih besar, yang menirukan dari generasi anak sebelumnya. Jadi dalam setiap kebudayaan, satu generasi menurunkan bentuk permainan yang paling memuaskan kegenerasi selanjutnya.
b)     Bermain mengikuti pola yang dapat diramalkan. Sejak masa bayi hingga masa pematangan, beberapa permainan tertentu populer pada suatu tingkat usia dan tidak pada usia lain, tanpa mempersoalkan lingkungan, bangsa, status sosial ekonomi dan jenis kelamin. Kegiatan bermain ini sangat populer secara universal dan dapat dirmalkan sehingga merupakan hal yang lazim untuk membagi masa tahun kanak-kanak kedalam tahapan yang lebih spesifik. Berbagai macam permainan juga mengikuti pola yang dapat diramalkan. Misal, permainan balok kayu dilaporkan melalui empat tahapan. Pertama, anak lebih banyak memegang, menjelajah, membawa balok dan menumpuknya dalam bentuk tidak teratur; kedua, membangun deretan dan menara; ketiga, mengambangakan teknik untuk membangun rancanganyang lebih rumit; keempat, mendramatisir dan menghasilkan bentuk yang sebenarnya.
c)      Ragam kegiatan permainan menurun dengan bertambahnya usia. Ragam kegiatan permainan yang dilakukan anak-anak secara bertahap berkurang dengan bertambahnya usia. Penurunan ini disebabkan oleh sejumlah alasan. Anak yang lebih besar kurang memiliki waktu untuk bermain dan mereka ingin menghabiskan waktunya dengan cara menimbulkan kesenangan terbesar. Dengan meningkatnya lingkungan perhatian, mereka dapat memusatkan perhatiannya pada kegiatan bermain yang lebih panjang ketimbang melompat dari satu permainan kepermainan lain seperti yang dilakukan seperti usia yang lebih muda. Anak-anak meninggalkannya dengan alasan karena telah bosan atau menganggapnya kekanak-kanakan.
d)     Bermain menjadi semakin sosial dengan meningkatnya usia. Dengan bertambahnya jumlah hubungan sosial, kualitas permaianan anak-anak menjadi lebih sosial. Pada saat anak-anak mencapai usia sekolah, kebanyakan mainan mereka adalah sosial, seperti yang ada dalam kegiatan bermain kerja sama, tetapi hal ini dilakukan apabila mereka telah memiliki kelompok dan bersamaan dengan itu, timbul kesempatan untuk belajar berteman dengan cara sosial.
e)      Jumlah teman bermain menurun dengan bertambahnya usia. Pada fase prasekolah, anak menganggap semua anggota kelompok sebagai teman bermain, setelah menjadi anggota gang, semua beruabah. Mereka ingin bermain dengan kelompok kecilnya itu dimana anggotanya memiliki perhatian yang sama dan permianannya menimbulkan kepuasan tertentu bagi mereka.
f)       Bermain semakin lebih sesuai dengan jenis kelamin. Anak laki-laki tidak saja menghindari teman bermain perempuan pada saat mereka masuk sekolah, tetapi juga menjauhkan diri dari semua kegiatan bermain yang tidak sesuai dengan jenis kelaminnya.
g)      Permainan masa kanak-kanak berubah dari tidak formal menjadi formal. Permainan anak kecil bersifat spontan dan informal. Mereka bermain kapan saja dan dengan mainan apa saja yang mereka sukai, tanpa memperhattikan tempat dan waktu. Mereka tidak membutuhkan peralatan atau pakaian khusus untuk bermain. Secara bertahap menjadi semakin formal.
h)     Bermain secara fisik kurang aktif dengan bertambahnya usia. Perhatian anak dalam permainan aktif mencapai titik rendahnya selama masa puber awal. Anak-anak tidak saja menarik diri untuk bermain aktif, tetapi juga menghabiskan sedikit waktunya untuk membaca, bermain dirumah atau menonton televisi. Kebanyakan waktunya dihabiskan dengan melamun - suatu bentuk bermain yang tidak membutuhkan tenaga banyak.
i)       Bermain dapat diramalkan dari penyesuaian anak. Jenis permainan, variasi kegiatan bermain, dan jumlah waktu yang dihabiskan untuk bermain secara keseluruhan merupakan petunjuk penyesuaian pribadi dan sosial anak.
j)       Terdapat variasi yang jelas dalam permainan anak. Walau semua anak melalui tahapan bermain yang serupa dan dapat diramalkan, tidak semua anak bermaian dengan cara yang sama pada usia yang sama. Variasi permainan anak dapat ditelusuri pada sejumlah faktor.

C.      Hakekat Perkambangan Anak
Anak adalah individu yang unik, yang mengalami tumbuh kembang serta mempunyai kebutuhan biologis, psikologis, dan spiritual yang harus dipenuhi (Adang Suherman, 2000). Perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan yang progresif dan kontinyu (berkesinambungan) dalam diri individu dari mulai lahir sampai mati atau perubahan-perubahan yang dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaan atau kematangan yan berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik maupun psikis (Syamsu Yusuf, 2004: 15). Menurut Endang Rini Sukamti (2007: 2), perkembangan adalah proses perubahan kapasitas fungsional atau kemampuan kerja organ-organ tubuh ke arah keadaan yang makin terorganisasi dan terspesialisasi. Makin terorganisasi artinya organ-organ tubuh makin bisa dikendalikan sesuai dengan kemauan, dan makin terspesialisasi artinya organ-organ tubuh semakin bisa berfungsi sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dapat disimpulkan bahwa, perkembangan anak adalah suatu individu unik yang mengalami perubahan berkesinambungan dimulai dari lahir hingga usia dewasa dengan perubahan pada fisik dan psikis serta berkebutuhan biologis, psikologis, dan spiritual.
Perkembangan berkaitan dengan perubahan kualitatif dan kuantitatif. Perkembangan bisa terjadi dalam bentuk perubahan kuantitatif, perubahan kualitatif, atau kedua-duanya secara serempak. Perubahan kuantitatif adalah perubahan yang bisa diukur atau dihitung. Sedangkan perubahan dalam bentuk semakin baik, semakin teratur, semakin lancar, dan sebagainya yang pada dasarnya merupakan perubahan yang tidak bisa atau sukar diatur. Menurut Syamsu Yusuf (2004: 17-20), prinsip-prinsip perkembangan antara lain sebagai berikut:
1)     Perkembangan merupakan proses yang tidak pernah berhenti; manusia secara terus menerus berkembang atau berubah yang dipengaruhi oleh pengalaman atau belajar sepanjang hidupnya yakni sejak masa konsepsi sampai mencapai kematangan atau masa tua.
2)     Semua aspek perkembangan saling berpengaruh; setiap aspek perkembangan individu, baik fisik, emosi, intelegensi, maupun sosial saling berpengaruh. Sebagai contoh, jika seorang anak mengalami gangguan dalam pertumbuhan fisiknya (sakit-sakitan), maka anak akan mengalami kemandegan dalam perkembangan apek lainnya, seperti kurang berkembangnya kecerdasan dan kelabilan emosional.
3)     Perkembangan mengikuti pola atau arah tertentu; setiap tahap perkembangan merupakan hasil perkembangan dari tahap sebelumnya yang  merupakan prasyarat bagi perkembangan selanjutnya. Contohnya, untuk dapat berjalan, seorang anak harus dapat berdiri terlebih dahulu dan berjalan merupakan prasyarat bagi perkembangan selanjutnya, yakni berlari dan meloncat.
4)     Perkembangan terjadi pada tempo yang berlainan; perkembangan fisik dan mental mencapai kematangan pada waktu yang berbeda (ada cepat dan lambat), misalnya otak mencapai bentuk ukuran yang sempurna pada usia 6-8 tahun.
5)     Setiap fase perkembangan mempunyai ciri khas; contohnya, (1) anak memusatkan untuk mengenal lingkungan, menguasai gerak-gerik, dan belajar bicara sampai usia 2 tahun, (2) pada usia 3-6 tahun perkembangan dipusatkan untuk menjadi manusia sosial (belajar bergaul dengan orang lain).
6)     Setiap individu yang normal akan mengalami tahapan/fase perkembangan; artinya dalam menjalani hidup yang normal dan berusia panjang, individu akan mengalami fase-fase perkembangan: bayi, kanak-kanak, anak, remaja, dewasa, dan tua.
Alasan memahami perkembangan anak adalah hal yang penting yaitu:
1)     Masa anak merupakan periode perkembangan yang cepat dan terjadinya perubahan dalam banyak aspek perkembangan.
2)     Pengalaman masa kecil mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perkembangan berikutnya.
3)     Pengetahuan tentang perkembangan anak dapat membantu anak mengembangkan diri, dan memecahkan masalah yang dihadapi anak.
4)     Melalui pemahaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak, dapat diantisipasi tentang berbagai upaya untuk memfasilitasi perkembangan tersebut, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat, serta dapat mengantisipasi berbagai kendala atau faktor yang mungkin akan mengkontaminasi (meracuni) perkembangan anak.


Aspek-aspek perkembangan anak dapat dilihat dari perkembangan fisik, perkembangan motorik, perkembangan bicara, dan perkembangan emosi yaitu:
1.       Perkembangan fisik
Perkembangan fisik penting untuk dipelajari karena baik secara langsung ataupun tidak langsung akan mempengaruhi prilaku anak sehari-hari. Secara langsung, perkembangan fisik anak akan menentukan keterampilan anak dalam bergerak, misalnya anak usia 6 tahun yang mengalami hambatan atau cacat tertentu maka jelas tidak mungkin mengikuti permainan yang dilakukan teman sebayanya. Secara tidak langsung, pertumbuhan dan perkembanga fisik anak akan mempengaruhi bagaimana anak memandang dirinya sendiri dan bagaimana dia memandang orang lain. Misalnya, anak yang gemuk akan menyadari bahwa dia tidak bisa mengikuti permainan yang dilakukan oleh teman sebayanya, dan dilain pihak teman-temannya akan menganggap anak gemuk terlalu lamban dan tidak pernah diajak bermain lagi. Perasaan tidak mampu dan merasa tertimpa nasib buruk ini akan memberikan warna tersendiri bagi perkembangan kepribadian anak.
2.       Perkembangan motorik
Perkembangan keterampilan motorik merupakan faktor yang sangat penting bagi perkembangan pribadi secara keseluruhan (Syamsu Yusuf, 2004:104). Perkembangan motorik adalah perkembangan pengendalian gerak jasmaniah melalui kegiatan pusat syaraf, urat syaraf, dan otot yang terkoordinasi.
3.       Perkembangan bicara
Kemampuan berbicara memenuhi kebutuhan penting lainnya dalam kehidupan anak, yakni kebutuhan untuk menjadi bagian dari kelompok sosial. Landasan untuk perkembangan bicara anak diletakkan pada masa anak-anak. Bicara merupakan keterampilan mental-motorik. Berbicara tidak hanya melibatkan koordinasi kumpulan otot mekanisme suara yang berbeda, tetapi juga mempunyai aspek mental yakni kemampuan mengaitkan arti dengan bunyi yang dihasilkan.
Selama tahun awal masa kanak-kanak, tidak semua bicara digunakan untuk berkomunikasi. Pada waktu sedang bermain, anak sering kali berbicara dengan dirinya sendiri atau dengan mainannya. Tetapi, pada saat minat untuk menjadi bagian dari kelompok sosial berkembang, anak sebagaian besar bicara untuk berkomunikasi dengan temannya dan hanya sewaktu-waktu berbicara sendiri.
4.       Perkembangan emosi
Mempelajari emosi anak-anak tergolong sulit karena informasi tentang aspek emosi yang subjektif hanya dapat diperoleh dengan cara introspeksi, sedangkan anak-anak tidak dapat menggunakan cara tersebut dengan baik karena anak-anak masih berusia sangat muda. Emosi mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosial anak karena:
a)      emosi menambah rasa nikmat bagi pengalaman sehari-hari
b)     emosi menyiapkan tubuh untuk melakukan tindakan
c)      ketegangan emosi mengganggu keterampilan motorik
d)     emosi merupakan suatu bentuk komunikasi
e)      emosi mengganggu aktivitas mental
f)       emosi merupakan sumber penilaian diri dan sosial
g)      emosi mewarnai pandangan anak terhadap kehidupan
h)     emosi mempengaruhi interaksi sosial
i)       emosi memperlihatkan kesannya pada ekspresi wajah
j)       emosi mempengaruhi suasana psikologis
k)     reaksi emosional apabila diulang-ulang akan berkembang menjadi kebiasaan.




PEMBAHASAN
                Bermain dan perkembangan anak saling berkaitan/ berhubungan. Bermain adalah kegiatan yang menyenangkan bagi anak tanpa paksaan guna mengembangkan kemampuan fisik, kognitif, afektif, sosial emosional, moral, dan motorik. Hal ini didukung oleh ahli-ahli seperti Plato, Aristoteles, Rousseau dan Pestalozzi, Herbart Spencer, dan Jean Piaget, yaitu:
Plato mencatat bahwa anak akan lebih mudah memahami aritmatika ketika diajarkan melalui bermain. Pada waktu itu Plato mengajarkan pengurangan dan penambahan dengan membagikan buah apel pada masing-masing anak. Kegiatan menghitung lebih dapat dipahami oleh anak ketika dilakukan sambil bermain dengan buah apel. Eksperimen dan penelitian ini menunjukkan bahwa anak lebih mampu menerapkan aritmatika dengan bermain dibandingkan dengan tanpa bermain.
Aristoteles, ia mengatakan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara kegiatan bermain anak dengan kegiatan yang akan dilakukan anak dimasa yang akan datang. Menurut Aristoteles, anak perlu dimotivasi untuk bermain dengan permainan yang akan ditekuni di masa yang akan datang. Sebagai contoh anak yang bermain balok-balokan, dimasa dewasanya akan menjadi arsitek. Anak yang suka menggambar maka akan menjadi pelukis, dan lain sebagainya.
Rousseau dan Pestalozzi mulai menyadari bahwa pendidikan akan lebih efektif jika disesuaikan dengan minat anak. Pernyataan ini mendukung teori Frobel yang mengatakan bahwa bermain sangat penting dalam belajar. Belajar berkaitan dengan proses konsentrasi. Orang yang mampu belajar adalah orang yang mampu memusatkan perhatian. Bermain adalah salah satu cara untuk melatih anak konsentrasi karena anak mencapai kemampuan maksimal ketika terfokus pada kegiatan bermain dan bereksplorasi dengan mainan. Bermain juga dapat membentuk belajar yang efektif karena dapat memberikan rasa senang sehingga dapat menimbulkan motivasi instrinsik anak untuk belajar. Motivasi instrinsik tersebut terlihat dari emosi positif anak yang ditunjukkan melalui rasa ingin tahu yang besar terhadap kegiatan pembelajaran.
Herbart Spencer, mengemukakan bahwa anak bermain karena anak memiliki energi yang berlebihan. Teori ini sering dikenal dengan teori Surplus Energi yang mengatakan bahwa anak bermain (melompat, memanjat, berlari dan lain sebagainya) merupakan manifestasi dari energi yang ada dari dalam diri anak. Bermain menurut Spencer bertujuan untuk mengisi kembali energi seseorang anak yang telah melemah.
Jean Piaget, juga mengungkapkan bahwa bermain mampu mengaktifkan otak anak, mengintegrasikan fungsi belahan otak kanan dan kiri secara seimbang dan membentuk struktur syaraf, serta mengembangkan pilar-pilar syaraf pemahaman yang berguna untuk masa datang. Berkaitan dengan itu pula otak yang aktif adalah kondisi yang sangat baik untuk menerima pelajaran (Martuti, 2009:23-25).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat di simpulkan beberapa pengaruh bermain terhadap perkembangan anak yaitu:
1)     Perkembangan Aspek Fisik Motorik Anak Melalui Bermain.
Pada saat anak bermain, terjadi perkembangan fisik motorik anak. Pada saat anak bermain, dapat merangsang perkembangan motorik halus dan motorik kasar. Anak juga mendapatkan sistem keseimbangan, misalnya pada saat anak melompat, atau berayun. Anak juga berkesempatan untuk melihat dari jarak jauh yang melibatkan koordinasi tangan dan mata. Bermain juga membuat anak merasa percaya diri, aman, yakin secara fisik
2)     Perkembangan Aspek Kognitif Anak Melalui Bermain.
Bermain adalah media penting dalam proses berfikir dalam memberikan pengalaman berinteraksi dengan lingkungan. Anak akan terlatih menghadapi dan menciptakan situasi yang nyata melalui percobaan dan perencanaan. Pada saat anak membuat aturan bersama dengan temannya, maka pada saat itulah anak membangun pikiran abstraknya, sehingga anak akan mendapatkan ide-ide yang lebih kreatif. Dengan pengalaman pada saat bermain, anak juga akan membangun daya ingat mereka secara tajam. Hal ini pula akan mendorong terhadap perkembangan bahasa untuk selanjutnya.
3)     Perkembangan Aspek Bahasa Anak Melalui Bermain.
Anak memperoleh bahasa dengan berbagai cara yaitu dengan meniru, menyimak, mengekspresikan, dan juga melalui bermain. Pada saat bermain, anak menggunakan bahasanya dan mengkomunikasikan bahasanya secara efektif dengan orang lain. Anak akan menggunakan bahasanya untuk berkomunikasi dengan temannya ataupun sekedar menyatakan pikirannya, dan secara langsung pada saat itulah anak akan belajar bahasa. Interaksi anak dengan lingkungan sekitar pada saat bermain, membantu anak memperluas kosa kata dan memperoleh tata bahasa dalam penggunaannya secara tepat.
4)     Perkembangan Aspek Sosial Anak Melalui Bermain.
Kegiatan sosialisasi anak ketika bermain, anak akan berinterksi dengan orang lain, baik teman sebaya, orang dewasa, atau lingkungan. Pada saat itulah anak berkesempatan mengenal aturan sosial dan mempraktekkannya dalam interaksinya. Hal ini akan mendorong anak belajar menghadapi perasaan-perasaan dan perilaku teman mainnya. Mereka akan belajar berunding, menyelesaikan konflik, dan bahkan berkompetisi. Intinya, pada saat mereka bermain, mereka akan belajar hidup berdampingan dengan orang lain, dan mendorong munculnya persahabatan dengan teman sebaya.
5)     Perkembangan Aspek Emosional Anak Melalui Bermain.
Bermain merupakan media ekspresi persaan dan ide-ide anak. Anak akan belajar menghadapi kehidupan nyata, dan mengatur emosi perasaanya pada saat bermain. Hal ini akan mendorong anak untuk memahami diri sendiri (self awareness).

KESIMPULAN
                Kesimpulan dari makalah ini adalah aktivitas bermain sangat mempengaruhi perkembangan anak, baik secara fisik, motorik, bahasa, sosial, kognitif dan emosional. Namun, aktivitas bermain hendaknya disesuaikan dengan perkembangan anak, tujuannya adalah agar anak berkembang secara berkesinambungan. Aktivitas bermain anak juga perlu mendapatkan pengawasan dari orang tua. Masa anak-anak adalah masa penting dalam pertumbuhan dan perkembangannya, karena apa yang didapat pada usia anak-anak akan terbawa saat mereka dewasa.






DAFTAR PUSTAKA

Adang Suherman. (2000). Dasar-dasar penjaskes. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Anggani Sudono. (2000). Sumber belajar dan alat permainan untuk PAUD. Jakarta: Grasindo.

Bredekamp, Sue . (1992). Developmentally appropriate practice in early childhood programs serving children from birth through age 8, Washington: NAEYC.

Conny R. Semiawan. (2008). Belajar dan pembelajaran prasekolah dan sekolah dasar.  Jakarta: Indeks.

Dedi Supriadi. (2003). Pendidikan anak usia dini dalam UU Sisdiknas, www.pikiran–rakyat.com/cetak. diakses tanggal 22 oktober 2015.

E. B. Hurlock. (1995). Psikologi perkembangan edisi ke-5. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ending Rini Sukanti. (2007). Perkembangan motorik. Diktat. Yogyakarta: FIK UNY.

Ermawan Susanto. (2014). Pembelajaran akuatik prasekolah: mengenal olahraga air sejak dini. Yogyakarta: UNY Press.

Ismatul Khasanah, Agung Prasetyo, & Ellya Rakhawati. (2011). Permainan tradisional sebagai media stimulasi perkembangan aspek anak usia dini. Jurnal penelitian PAUDIA, volume 1 nomor 1.

Kail, Robert V. (2010). Children and their development: fifth edition. USA: Pearson Prentice Hall.

Martuti. (2009). Mendirikan dan mengelola PAUD: manajemen administrasi & strategi pembelajaran. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Maimunah Hasan. (2012). Pendidikan anak usia dini. Yogyakarta: Diva Press.

Rahadjo, Budi. (2007). Aplikasi teori bermain untuk anak usia sekolah. didaktika Vol 8, september 07.

Rani Yulianti. (2012). Permainan yang meningkatkan kecerdasan anak. Jakarta: Laskar Aksara

Simatupang, Nurhayati. (2005). Bermain sebagai upaya dini menanamkam aspek sosial bagi siswa sekolah dasar. Jurnal Pendidlkan Jasmani Indonesia, Volume 3, Nomor 1.

Suyadi. (2014). Teori pembelajaran anak usia dini: dalam kajian neurosains. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Syamsu Yusuf. (2004). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Tadkiroatun Musfiroh. 2005. Bermain sambil belajar dan mengasah kecerdasan. Jakarta: Depdiknas.


Zulvia Trinova. (2012). Hakikat belajar dan bermain menyenagkan bagi peserta didik. Jurnal Al-Ta’lim, Jilid 1, Nomor 3 November 2012.Padang: Universitas IAIN Iman Bonjol.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar