BERMAIN
DAN PERKEMBANGAN ANAK
Oleh: Margi Asih
ABSTRAK
Anak
adalah individu yang unik, yang mengalami tumbuh kembang secara
berkesinambungan atau terus-menerus. Pada usia 0-6 tahun anak-anak selalu
melakukan aktivitas bermain. Bermain dan anak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Aktivitas bermain dilakukan anak dan aktivitas anak selalu
menunjukkan kegiatan bermain. Bermain dan anak sangat erat kaitannya. Hasil
penelitian membuktikan 50% kemampuan belajar seseorang ditentukan pada empat tahun
pertaman dan membentuk 30% yang lainnya sebelum mencapai usia 8 tahun. Hasil
studi di bidang neurologi mengungkapkan bahwa ukuran otak anak pada usia 2
tahun telah mencapai 75% dari ukuran otak ketika anak tersebut dewasa dan pada
usia 5 tahun mencapai 90% dari ukuran otak setelah ia dewasa, sehingga para
psikologi menyebutkan masa ini sebagai masa The
golden age.
Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan
sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang
ditujukan bagi anak sejak lahir sampai usia enam tahun yang dilakukan melalui
pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan
jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih
lanjut yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan anak usia dini baik itu taman kanak-kanak, paud, ataupun kelompok
bermain, diharapkan memberikan bentuk-bentuk permainan yang edukatif untuk
merangsang perkembangan anak baik secara fisik, motorik, sosial, bahasa, maupun
emosional.
Menurut beberapa para ahli, aktivitas bermain bukan hanya
untuk kesenangan semata, namun untuk merangsang respon anak terhadap sesuatu.
Respon tersebut yang nantinya akan berakibat pada perkembangan anak. bermain
merupakan suatu aktivitas yang menyenangkan bagi semua orang. Bermain akan
memuaskan tuntutan perkembangan motorik, kognitif, bahasa, sosial, nilai- nilai
dan sikap hidup. Bermain adalah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan
yang ditimbulkannya, tanpa pertimbangan hasil akhir. Bermain dilakukan secara
sukarela dan tidak ada unsur paksaan atau takanan dari luar atau kewajiban.
Dengan demikian, aktivitas bermain dan perkembangan anak
saling mempengaruhi terutama dalam perkembangan fisik motorik, bahasa, sosial, kognitif,
dan emosional.
Kata kunci: anak usia dini, pendidikan anak usia dini, bermain,
dan
perkembangan anak.
perkembangan anak.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bermain
dan anak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Aktivitas bermain
dilakukan anak dan aktivitas anak selalu menunjukkan kegiatan bermain. Bermain
dan anak sangat erat kaitannya. Oleh karena itu, salah satu prinsip
pembelajaran di pendidikan anak usia dini adalah bermain dan belajar. Bermain
merupakan kegiatan yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan fisik,
sosial, emosi, intelektual, dan spiritual anak. Dengan bermain anak dapat
mengenal lingkungan, berinteraksi, serta mengembangkan emosi dan imajinasi
dengan baik. Pada dasarnya anak-anak gemar bermain, bergerak, bernyanyi dan
menari, baik dilakukan sendiri maupun berkelompok. Bermain adalah kegiatan
untuk bersenang-senang yang terjadi secara alamiah. Anak tidak merasa terpaksa
untuk bermain, tetapi mereka akan memperoleh kesenangan, kanikmatan, informasi,
pengetahuan, imajinasi, dan motivasi bersosialisasi Bermain memiliki fungsi
yang sangat luas, seperti untuk anak, untuk guru, orang tua dan fungsi
lainnya.bagi anak. Dengan bermain dapat mengembangkan fisik, motorik, sosial,
emosi, kognitif, daya cipta (kreativitas), bahasa, perilaku, ketajaman
pengindraan, melepaskan ketegangan, dan terapi bagi fisik, mental ataupun
gangguan perkembangan lainnya.
Konsep
belajar dan bermain pada pendidikan anak usia dini (PAUD), kelompok bermain
(KB), Taman Kanak-Kanak (TK), dan Tempat Penitipan Anak (TPA) telah dilaksanakan
dengan baik. Guru dan orang tua telah memahami fungsi bermain untuk
perkembangan anak. Bermain memiliki fungsi yang sangat luas, seperti untuk
anak, untuk guru, orang tua dan fungsi lainnya.bagi anak. Dengan bermain dapat
mengembangkan fisik, motorik, sosial, emosi, kognitif, daya cipta
(kreativitas), bahasa, perilaku, ketajaman pengindraan, melepaskan ketegangan,
dan terapi bagi fisik, mental ataupun gangguan perkembangan lainnya. Fungsi
bermain bagi guru dan orangtua adalah agar guru dan orangtua dapat memahami
karakter anak, jalan pikiran anak, dapat intervensi, kolaborasi dan
berkomunikasi dengan ank. Fungsi lainnya adalah rekreasi, penyaluran energi,
persiapan untuk hidup dan mekanisme integrasi (penyatuan) dengan alam sekitar.
Permasalahannya
hingga saat ini, pada pendidikan anak usia dini, taman kanal-kanak, maupun
tempat penitipan anak, permainan yang diberikan oleh guru beberapa diantaranya
kurang kreatif, inovatif, dan tidak sesuai perkembangan anak. Dalam usianya,
setiap anak berbeda dalam perkembangannya. Ada yang cepat dan ada yang lambat
dalam proses perkembangan anak. Seharusnya guru memahami hal tersebut. Apabila
permainan yang diberikan dalam bermain tidak sesuai dengan perkembangannya, hal
yang akan terjadi justru akan menyebabkan terganggunya perkembangan anak.
Seharusnya anak diberikan permainan sesuai dengan perkembangan usia anak. Hal
ini ditujukan agar proses perkembangan anak sesuai dengan tahapnya.
Permasalahan
selanjutnya yaiitu di sekolah-sekolah terutama di sekolah dasar, kegiatan
bermain masih dianggap kurang penting, sehingga belum ada program yang
terencana dan terstruktur. Pembelajaran terpadu (tematik) yang menggabungkan
beberapa bidang studi di kelas rendah belum memasukkan unsur-unsur permainan,
biasanya kegiatan bermain disisipkan dalam pelajaran olah raga (pendidikan
jasmani). Pendidikan jasmani (Penjas) merupakan bagian integral dari sistem
pendidikan secara keseluruhan dan sangat strategis digunakan untuk mendorong
perkembangan kemampuan motorik, kemampuan fisik, penalaran dan penghayatan
nilai (mental, emosional, spiritual, dan sosial) serta pembiasaan hidup sehat.
Penjas sebagai bidang studi berorientasi pada kebutuhan gerak siwa juga dapat
diintegrasikan dengan bidang studi lain seperti matematika, IPA, bahasa, IPS
dan agama.
Seiring
dengan perkembangan zaman, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan
permainan tergeser dengan permainan modern yaitu games aplikasi pada handphone
atau gadget. Penggunaan gadget yang berlebihan pada anak akan berdampak negatif
karena dapat menurunkan daya konsentrasi dan meningkatkan ketergantungan anak
untuk dapat mengerjakan berbagai hal yang semestinya dapat dilakukan sendiri.
Dampak lainnya adalah semakin terbukanya akses internet dalam gadget yang
menampilkan segala hal yang semestinya belum waktunya dilihat oleh anak-anak.
Menurut sudut pandang ilmu kesehatan jiwa, pengunaan gadget usia dini tidak
disarankan, akibat hal ini anak tidak dapat belajar dengan cara alami bagaimana
berkomunikasi dan sosialisasi. Anak juga tidak mampu mengenali dan berbagi
aneka emosi, misal simpati, sedih, atau senang, alhasil anak tidak dapat
meresponi hal yang ada di sekelilingnya baik secara emosi maupun verbal.
Terbatasnya respon anak akan mengganggu perkembangan kemampuannya untuk bergaul
dan beradaptasi. Permasalahan yang terjadi pada generasi saat ini adalah
pemberian gadget yang terlalu dini di era globalisasi ini menyebabkan dampak
negatif terhadap perkembangan anak di usia dini. Banyak anak yang mulai
kecanduan gadget dan lupa bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya yang
berdampak psikologis terutama krisis percaya diri, juga pada perkembangan fisik
anak.
Dengan
demikian, perlunya guru, anak, dan orang tua memahami arti pentingnya bermain
yang sesuai dengan perkembangan anak. Perkembangan anak yang dimaksud bukan
hanya pada motoriknya saja tetapi secara keseluruhan baik secara kognitif
(pengetahuan), afektik (sikap), motorik, psikomotor (keterampilan), sosial,
emosi, dan mental.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
“Bagaimana pengaruh bermain terhadap perkembangan anak?”.
C. Tujuan
Tujuan
dari makalah ini adalah untuk mengkaji manfaat bermain dalam proses
perkembangan anak baik secara afektif, kognitif, psikomotor, sosial, emosi, dan
motorik.
KAJIAN TEORI
A. Hakekat Pendidikan Anak Usia Dini
Dalam
berbagai literatur tentang anak terbatas pada usia atau umur. Ada beberapa
pendapat mengenai siapa yang disebut sebagai anak, yaitu Huck dkk (dalam
Martuti, 2009:2) menyatakan bahwa yang dikategorikan sebagai anak adalah
anak-anak usia 1 hingga kurang lebih 12 tahun. Tahapan usia anak itu sendiri
dibedakan ke dalam tahap-tahap sebagai berikut: (1) Sebelum sekolah/masa
pertumbuhan (usia 1-2 tahun), (2) Prasekolah dan taman kanak-kanak (usia 3-5
tahun), (3) Masa awal sekolah (usia 6-7 tahun), (4) Elementer tengah (usia 8-9
tahun), (5) Elementer akhir (usia 10-12 tahun). Sedangkan menurut Piaget (
dalam Robert V. Kail, 2010:171) membagi perkembangan intelektual anak ke dalam
empat tahapan dan tiap tahapan memiliki karekteristik berbeda. Keempat perkembangan
intelektual itu adalah:
1)
Tahap sensori-motor (usia 0-2 tahun)
2)
Tahap praoperasional (usia 2-6 tahun)
3)
Tahap operasional konkret (usia 7-11 tahun)
4)
Tahap operasional formal (usia 11-12 tahun ke atas)
Dalam batasan yang diberikan oleh The National Assosiation
for The Education of Young Children (NAEYC) dikatakan bahwa anak usia dini
(early childhood) adalah anak yang sejak dilahirkan sampai berusia
delapan tahun (Bredekamp 1992:1) Dengan pengertian ini NAEYC mengembangkan
berbagai program yang sesuai dengan tahap perkembangan anak sejak seorang anak
itu dilahirkan sampai berusia delapan tahun. Sebelum program tersebut
dirancang, NAEYC terlebih dahulu menerangkan berbagai praktek kegiatan yang
tidak sesuai dengan tahap perkembangan anak meskipun kegiatan tersebut sudah
lama dilakukan di berbagai negara yang ada di dunia. Dalam psikologi
perkembangan dan berdasarkan riset neurology, anak usia dini dikatakan sebagai
anak yang berumur 0-8 tahun (Dedi Supriadi 2003:1). Pertumbuhan dan
perkembangannya diperhatikan dengan cara memberi perlakuan yang baik berupa
pendidikan usia prasekolah atau pendidikan sekolah di kelas-kelas awal Sekolah
Dasar (SD). Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa anak
usia dini adalah anak yang sejak dilahirkan sampai berusia dua enam tahun tahun
(0-6 tahun) yang sedang mengalami proses tumbuh dan berkembang baik dari segi
kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan
sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang
ditujukan bagi anak sejak lahir sampai usia enam tahun yang dilakukan melalui
pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan
jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih
lanjut yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal
(Maimunah Hasan, 2012:15). Menurut Ermawan Susanto (2014:2), pendidikan anak
usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir
sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar
anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pendidikan usia
dini yaitu pendidikan yang ditujukan bagi anak sejak usia lahir hingga usia 6
tahun. Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan anak
usia dini yaitu suatu jenjang pendidikan guna merangsang pertumbuhan dan
perkembangan anak pada usia 0-6 tahun.
Kemampuan terhebat dari manusia dalam menyerap berbagai
pelajaran berlangsung ketika manusia masih berusia di bawah lima tahun. Di
Indonesia, pada umumnya seorang anak memulai mengikuti program pendidikan sejak
menginjak usia 2 tahun bahkan 4 tahun. Hal ini didukung oleh Gordon dan Jeanette
(dalam Martuti, 2009:17), bahwa penelitian membuktikan 50% kemampuan belajar
seseorang ditentukan pada empat tahun pertaman dan membentuk 30% yang lainnya
sebelum mencapai usia 8 tahun. Hasil studi di bidang neurologi mengungkapkan
bahwa ukuran otak anak pada usia 2 tahun telah mencapai 75% dari ukuran otak
ketika anak tersebut dewasa dan pada usia 5 tahun mencapai 90% dari ukuran otak
setelah ia dewasa, sehingga para psikologi menyebutkan masa ini sebagai masa The golden age (Suyadi, 2014:3).
Pada usia 4-6 tahun, merupakan masa peka bagi anak. Anak
mulai sensitive untuk menerima berbagai upaya perkembangan seluruh potensi
anak. Masa peka adalah masa terjadinya pematangan fungsi-fungsi fisik dan
psikis yang siapa merespons stumulasi yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini
merupakan masa untuk meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan kemampuan
fisik, kognitif, bahasa, sosial emosional, konsep diri, disiplin, kemandirian,
seni, moral, dan nilai-nilai agama. Oleh sebab itu dibutuhkan kondisi dan stimulasi
yang sesuai dengan kebutuhan anak agar pertumbuhan dan perkembangan anak dapat
optimal.
B. Hakekat Bermain
1. Pengertian Bermain
Setiap
anak di dunia ini memiliki hak untuk bermain. Bermain juga adalah kegiatan
pokok anak. Dengan bermain anak mendapatkan pengetahuan dan pengalaman yang
membantu perkembangannya untuk menyiapkan diri dalam kehidupan selanjutnya.
Para ahli pendidikan menganggap bahwa bermain sebagai kegiatan yang memiliki
nilai praktis, artinya bermain digunakan sebagai media untuk meningkatkan keterampilan
dan kemampuan tertentu pada anak. Bermain merupakan jembatan bagi anak dari
belajar informal menjadi formal. Dengan bermain, anak dapat melakukan kegiatan
sehingga semua aspek perkembangan dapat berkembang secara maksimal. Bermain bukan hanya menjadi kesenangan saja,
tetapi juga suatu kebutuhan yang mau tidak mau harus terpenuhi. Menurut Cony
Semiawan (dalam Ismatul Khasanah dkk,2011:94)
dalam kegiatan bermain, seluruh tahapan perkembangan anak dapat berfungsi dan
berkembang dengan baik dan hasil dari perkembangan yang baik itu akan muncul
dan terlihat pada saat si anak menginjak masa remaja. Bermain, atau permainan
sebagai aktivitas terkait dengan keseluruhan diri anak, bukan hanya sebagian,
namun melalui permainan (pada saat anak bermain) anak akan terdorong
mempraktekkan keterampilannya yang mengarahkan perkembangan kognitif anak,
perkembangan bahasa anak, perkembangan psikomotorik, dan perkembangan fisik.
Pengalaman bermain akan mendorong anak untuk lebih kreatif. Mulai dari
perkembangan emosi, kemudian mengarah ke kreativitas bersosialisasi.
Menurut
Moeslichatoen (dalam Simatupang, 2005), bermain merupakan suatu aktivitas yang
menyenangkan bagi semua orang. Bermain akan memuaskan tuntutan perkembangan
motorik, kognitif, bahasa, sosial, nilai- nilai dan sikap hidup. Bermain adalah
setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa
pertimbangan hasil akhir. Bermain dilakukan secara sukarela dan tidak ada unsur
paksaan atau takanan dari luar atau kewajiban. Piaget menjelaskan bahwa bermain
terdiri atas tanggapan yang diulang sekedar untuk kesenangan fungsional.
Menurut Bettelheim, kegiatan bermain adalah kegiatan yang tidak memiliki
peraturan kecuali yang ditetapkan pemain sendiri dan ada hasil akhir yang
dimaksudkan dalam realitas luar. (Hurlock, 1995; 320 dalam zulvia Trinova,
2012:210). Bermain diartikan sebagai suatu kegiatan atau tingkah laku yang
dilakukan anak secara sendirian atau berkelompok dengan menggunakan alat atau
untuk mencapai tujuan tertentu (Soegeng Santoso dalam Rani Yulianti, 2012: 7).
Dengan bermain anak-anak akan berusaha untuk memiliki keinginan dan mencapai
keinginannya. Melalui bermain, semua aspek perkembangan anak dapat
ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas anak dapat berekspresi dan
bereksplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui dan menemukan
hal-hal baru. Bermain juga dikatakan suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau
tanpa mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan
informasi, memberikan kesenangan maupun mengembangkan imajinasi yang lebih
mendominan pada belahan otak kiri anak usia dini (Anggani Sudono, 2000:5).
Dari
beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa bermain adalah kegiatan
yang menyenangkan bagi anak tanpa paksaan guna mengembangkan kemampuan fisik,
kognitif, afektif, sosial emosional, moral, dan motorik.
2. Fungsi dan Manfaat Bermain
Menurut
Ismatul Khasanah, Agung Prasetyo &
Ellya Rakhmawati (2011:94-95), bermain memiliki fungsi yang sangat luas
bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, baik secara fisik, kognitif, bahasa,
sosial emosional, maupun psikomotorik. Perkembangan secara fisik, seperti
keterampilan motorik kasar, menjadi lebih fleksibel dalam berlari, melompat,
memanjat, berguling, berputar, dan lain sebagainya. Keterampilan motorik
halusnya meningkat, pada saat anak menyentuh, meraba, memegang suatu benda
(alat permainan), secara spontan hal ini akan mengantarkan anak dalam kesiapan
menggambar, mewarnai, memegang pensil atau krayon, menyuap makanan sendiri,
mengikat tali sepatu dan lain-lain. Perkembangan kognitif, yaitu keterampilan
anak dalam berfikir. Pada saat bermain dengan teman sebaya, anak akan belajar
membangun pengetahuannya sendiri dari interaksi. Mereka dapat menyelesaikan
masalah yang ditemukan pada saat bermain, sehingga anak dapat terlatih untuk
berfikir logik. Bermain penting untuk Perkembangan bahasa anak. Pada saat anak
bermain, ketika kemampuan kognitifnya tumbuh dan berkembang, anak mulai
berfikir secara simbolik melalui pemerolehan dan penggunaan bahasa.
Perkembangan psikologis yaitu pemahaman diri, ketika anak tumbuh secara
kognitif dan fisik, ia akan mulai menyadari keberadaan dirinya. Dalam sosial
emosional, yaitu kemampuan anak berbagi rasa, secara psikologis anak telah
melewati masa-masa sulit (bereaksi dengan menangis) dan dapat menyampaikan
pesan dan perasaannya, keinginannya, kemauannya dengan tepat. Dengan bermain
anak dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, baik teman sebaya, ataupun
orang dewasa. Keterampilan sosial ini akan terus bertambah ketika ia mulai
berhubungan dengan lebih banyak orang lagi di lingkungan yang lebih luas.
Ada
5 (lima) manfaat nyata dari bermain, yaitu manfaat motorik, afektif, kognitif,
spiritual, dan keseimbangan. Manfaat motorik adalah manfaat yang berhubungan
dengan nilainilai positif mainan yang terjadi pada fisik/jasmaniah anak.
Biasanya hal ini berhubungan dengan unsur-unsur kesehatan, keterampilan,
ketangkasan, maupun kemmpuan fisik tertentu. Manfaat afeksi yaitu manfaat
mainan yang berhubungan dengan perkembangan psikologis anak. Unsur-unsur yang
mencakup dalam kelompok ini, antara lain naluri/insting, perasaan, emosi,
sifat/karakter/ watak, maupun kepribadian seseorang. Manfaat kognitif adalah
mannfaat mainan untuk perkembangan kecerdasan anak. Biasanya, ini berhubungan
dengan kemampuan imajinasi, pembentukan nalar, logika, maupun
pengetahuan-pengetahuan sistematis (zulvia Trinova, 2012:211).
3. Ciri-Ciri Bermain dan Karakteristik Bermain
Bermain
memiliki ciri-ciri yang khas yang membedakannya dari kegiatan lain. Kegiatan
bermain pada anak-anak memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
a)
Bermain selalu menyenangkan (pleasurable), menikmatkan
atau menggem-birakan (enjoyable).
b)
Bermain tidak bertujuan ekstrinsik, motivasi bermain adalah
intrinsik dari diri anak.
c)
Bermain bersifat spontan dan sukarela, bukan karena terpaksa.
d)
Bermain melibatkan peran aktif semua peserta sesuai peran
dan gilirannya masingmasing.
e)
Bermain bersifat fleksibel, anak dapat dengan bebas memilih
dan beralih ke kegiatan bermain apa saja yang mereka inginkan. Adakalanya anak
berpindah-pindah dari satu kegiatan bermain ke kegiatan bermain lainnya yang
tidak terlalu lama (Tadkiroatun Musfiroh, 2005: 6 – 8).
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Susanna Miliar et al; Garvey; Rubin; Fein; dan
Vendenberg (dalam Rahardjo, 2007) mengungkapkan adanya beberapa ciri kegiatan
permainan, yaitu : a.) Dilakukan berdasarkan motivasi instrinstik, maksudnya
muncul atas keinginan pribadi serta untuk kepentingan sendiri. b) Perasaan dari
orang terlibat dalam kegiatan bermain diwarnai oleh emosi-emosi positif. c). Fleksibilitas
yang ditandai mudahnya kegiatan beralih dari satu aktifitas ke aktivitas lain.
d). Lebih menekankan pada proses yang berlangsung dibandingkan hasil akhirnya.
e) Bebas memilih, cirri ini merupakan elemen yang sangat penting bagi konsep
bermain pada anak kecil f.) Mempunyai kualitas pura-pura. Kegiatan bermain
mempunyai kerangka tertentu yang memisahkan dari kehidupan nyata sehari-hari.
Bermain pada masa anak- anak
mempunyai karakteristik tertentu yang membedakannya dari permainan orang
dewasa. Menurut Hurlock (1995: 322- 326) karakteristik permainan pada masa
anak- anak adalah sebagai berikut:
a)
Bermain dipenguhi tradisi. Anak kecil menirukan permainan
anak yang lebih besar, yang menirukan dari generasi anak sebelumnya. Jadi dalam
setiap kebudayaan, satu generasi menurunkan bentuk permainan yang paling
memuaskan kegenerasi selanjutnya.
b)
Bermain mengikuti pola yang dapat diramalkan. Sejak masa
bayi hingga masa pematangan, beberapa permainan tertentu populer pada suatu
tingkat usia dan tidak pada usia lain, tanpa mempersoalkan lingkungan, bangsa,
status sosial ekonomi dan jenis kelamin. Kegiatan bermain ini sangat populer
secara universal dan dapat dirmalkan sehingga merupakan hal yang lazim untuk
membagi masa tahun kanak-kanak kedalam tahapan yang lebih spesifik. Berbagai
macam permainan juga mengikuti pola yang dapat diramalkan. Misal, permainan
balok kayu dilaporkan melalui empat tahapan. Pertama, anak lebih banyak
memegang, menjelajah, membawa balok dan menumpuknya dalam bentuk tidak teratur;
kedua, membangun deretan dan menara; ketiga, mengambangakan teknik untuk
membangun rancanganyang lebih rumit; keempat, mendramatisir dan menghasilkan
bentuk yang sebenarnya.
c)
Ragam kegiatan permainan menurun dengan bertambahnya usia.
Ragam kegiatan permainan yang dilakukan anak-anak secara bertahap berkurang
dengan bertambahnya usia. Penurunan ini disebabkan oleh sejumlah alasan. Anak
yang lebih besar kurang memiliki waktu untuk bermain dan mereka ingin
menghabiskan waktunya dengan cara menimbulkan kesenangan terbesar. Dengan
meningkatnya lingkungan perhatian, mereka dapat memusatkan perhatiannya pada
kegiatan bermain yang lebih panjang ketimbang melompat dari satu permainan
kepermainan lain seperti yang dilakukan seperti usia yang lebih muda. Anak-anak
meninggalkannya dengan alasan karena telah bosan atau menganggapnya
kekanak-kanakan.
d)
Bermain menjadi semakin sosial dengan meningkatnya usia.
Dengan bertambahnya jumlah hubungan sosial, kualitas permaianan anak-anak
menjadi lebih sosial. Pada saat anak-anak mencapai usia sekolah, kebanyakan
mainan mereka adalah sosial, seperti yang ada dalam kegiatan bermain kerja
sama, tetapi hal ini dilakukan apabila mereka telah memiliki kelompok dan
bersamaan dengan itu, timbul kesempatan untuk belajar berteman dengan cara
sosial.
e)
Jumlah teman bermain menurun dengan bertambahnya usia. Pada
fase prasekolah, anak menganggap semua anggota kelompok sebagai teman bermain,
setelah menjadi anggota gang, semua beruabah. Mereka ingin bermain dengan
kelompok kecilnya itu dimana anggotanya memiliki perhatian yang sama dan
permianannya menimbulkan kepuasan tertentu bagi mereka.
f)
Bermain semakin lebih sesuai dengan jenis kelamin. Anak
laki-laki tidak saja menghindari teman bermain perempuan pada saat mereka masuk
sekolah, tetapi juga menjauhkan diri dari semua kegiatan bermain yang tidak
sesuai dengan jenis kelaminnya.
g)
Permainan masa kanak-kanak berubah dari tidak formal menjadi
formal. Permainan anak kecil bersifat spontan dan informal. Mereka bermain
kapan saja dan dengan mainan apa saja yang mereka sukai, tanpa memperhattikan
tempat dan waktu. Mereka tidak membutuhkan peralatan atau pakaian khusus untuk
bermain. Secara bertahap menjadi semakin formal.
h)
Bermain secara fisik kurang aktif dengan bertambahnya usia.
Perhatian anak dalam permainan aktif mencapai titik rendahnya selama masa puber
awal. Anak-anak tidak saja menarik diri untuk bermain aktif, tetapi juga
menghabiskan sedikit waktunya untuk membaca, bermain dirumah atau menonton
televisi. Kebanyakan waktunya dihabiskan dengan melamun - suatu bentuk bermain
yang tidak membutuhkan tenaga banyak.
i)
Bermain dapat diramalkan dari penyesuaian anak. Jenis
permainan, variasi kegiatan bermain, dan jumlah waktu yang dihabiskan untuk
bermain secara keseluruhan merupakan petunjuk penyesuaian pribadi dan sosial
anak.
j)
Terdapat variasi yang jelas dalam permainan anak. Walau
semua anak melalui tahapan bermain yang serupa dan dapat diramalkan, tidak
semua anak bermaian dengan cara yang sama pada usia yang sama. Variasi
permainan anak dapat ditelusuri pada sejumlah faktor.
C. Hakekat Perkambangan Anak
Anak adalah individu yang unik, yang
mengalami tumbuh kembang serta mempunyai kebutuhan biologis, psikologis, dan
spiritual yang harus dipenuhi (Adang Suherman, 2000). Perkembangan dapat
diartikan sebagai perubahan yang progresif dan kontinyu (berkesinambungan)
dalam diri individu dari mulai lahir sampai mati atau perubahan-perubahan yang
dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaan atau kematangan yan
berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan, baik menyangkut
fisik maupun psikis (Syamsu Yusuf, 2004: 15). Menurut Endang Rini Sukamti
(2007: 2), perkembangan adalah proses perubahan kapasitas fungsional atau
kemampuan kerja organ-organ tubuh ke arah keadaan yang makin terorganisasi dan
terspesialisasi. Makin terorganisasi artinya organ-organ tubuh makin bisa
dikendalikan sesuai dengan kemauan, dan makin terspesialisasi artinya
organ-organ tubuh semakin bisa berfungsi sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Dapat disimpulkan bahwa, perkembangan anak adalah suatu individu unik yang
mengalami perubahan berkesinambungan dimulai dari lahir hingga usia dewasa
dengan perubahan pada fisik dan psikis serta berkebutuhan biologis, psikologis,
dan spiritual.
Perkembangan
berkaitan dengan perubahan kualitatif dan kuantitatif. Perkembangan bisa
terjadi dalam bentuk perubahan kuantitatif, perubahan kualitatif, atau
kedua-duanya secara serempak. Perubahan kuantitatif adalah perubahan yang bisa
diukur atau dihitung. Sedangkan perubahan dalam bentuk semakin baik, semakin
teratur, semakin lancar, dan sebagainya yang pada dasarnya merupakan perubahan
yang tidak bisa atau sukar diatur. Menurut Syamsu Yusuf (2004: 17-20),
prinsip-prinsip perkembangan antara lain sebagai berikut:
1)
Perkembangan
merupakan proses yang tidak pernah berhenti; manusia secara terus menerus
berkembang atau berubah yang dipengaruhi oleh pengalaman atau belajar sepanjang
hidupnya yakni sejak masa konsepsi sampai mencapai kematangan atau masa tua.
2)
Semua
aspek perkembangan saling berpengaruh; setiap aspek perkembangan individu, baik
fisik, emosi, intelegensi, maupun sosial saling berpengaruh. Sebagai contoh,
jika seorang anak mengalami gangguan dalam pertumbuhan fisiknya
(sakit-sakitan), maka anak akan mengalami kemandegan dalam perkembangan apek
lainnya, seperti kurang berkembangnya kecerdasan dan kelabilan emosional.
3)
Perkembangan
mengikuti pola atau arah tertentu; setiap tahap perkembangan merupakan hasil
perkembangan dari tahap sebelumnya yang merupakan prasyarat bagi
perkembangan selanjutnya. Contohnya, untuk dapat berjalan, seorang anak harus
dapat berdiri terlebih dahulu dan berjalan merupakan prasyarat bagi
perkembangan selanjutnya, yakni berlari dan meloncat.
4)
Perkembangan
terjadi pada tempo yang berlainan; perkembangan fisik dan mental mencapai
kematangan pada waktu yang berbeda (ada cepat dan lambat), misalnya otak
mencapai bentuk ukuran yang sempurna pada usia 6-8 tahun.
5)
Setiap
fase perkembangan mempunyai ciri khas; contohnya, (1) anak memusatkan untuk
mengenal lingkungan, menguasai gerak-gerik, dan belajar bicara sampai usia 2
tahun, (2) pada usia 3-6 tahun perkembangan dipusatkan untuk menjadi manusia
sosial (belajar bergaul dengan orang lain).
6)
Setiap
individu yang normal akan mengalami tahapan/fase perkembangan; artinya dalam
menjalani hidup yang normal dan berusia panjang, individu akan mengalami
fase-fase perkembangan: bayi, kanak-kanak, anak, remaja, dewasa, dan tua.
Alasan
memahami perkembangan anak adalah hal yang penting yaitu:
1)
Masa
anak merupakan periode perkembangan yang cepat dan terjadinya perubahan dalam
banyak aspek perkembangan.
2)
Pengalaman
masa kecil mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perkembangan berikutnya.
3)
Pengetahuan
tentang perkembangan anak dapat membantu anak mengembangkan diri, dan
memecahkan masalah yang dihadapi anak.
4)
Melalui
pemahaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak, dapat
diantisipasi tentang berbagai upaya untuk memfasilitasi perkembangan tersebut,
baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat, serta dapat mengantisipasi
berbagai kendala atau faktor yang mungkin akan mengkontaminasi (meracuni)
perkembangan anak.
Aspek-aspek
perkembangan anak dapat dilihat dari perkembangan fisik, perkembangan motorik,
perkembangan bicara, dan perkembangan emosi yaitu:
1.
Perkembangan
fisik
Perkembangan
fisik penting untuk dipelajari karena baik secara langsung ataupun tidak
langsung akan mempengaruhi prilaku anak sehari-hari. Secara langsung,
perkembangan fisik anak akan menentukan keterampilan anak dalam bergerak,
misalnya anak usia 6 tahun yang mengalami hambatan atau cacat tertentu maka
jelas tidak mungkin mengikuti permainan yang dilakukan teman sebayanya. Secara
tidak langsung, pertumbuhan dan perkembanga fisik anak akan mempengaruhi
bagaimana anak memandang dirinya sendiri dan bagaimana dia memandang orang
lain. Misalnya, anak yang gemuk akan menyadari bahwa dia tidak bisa mengikuti
permainan yang dilakukan oleh teman sebayanya, dan dilain pihak teman-temannya
akan menganggap anak gemuk terlalu lamban dan tidak pernah diajak bermain lagi.
Perasaan tidak mampu dan merasa tertimpa nasib buruk ini akan memberikan warna
tersendiri bagi perkembangan kepribadian anak.
2.
Perkembangan
motorik
Perkembangan
keterampilan motorik merupakan faktor yang sangat penting bagi perkembangan
pribadi secara keseluruhan (Syamsu Yusuf, 2004:104). Perkembangan motorik
adalah perkembangan pengendalian gerak jasmaniah melalui kegiatan pusat syaraf,
urat syaraf, dan otot yang terkoordinasi.
3.
Perkembangan
bicara
Kemampuan
berbicara memenuhi kebutuhan penting lainnya dalam kehidupan anak, yakni
kebutuhan untuk menjadi bagian dari kelompok sosial. Landasan untuk
perkembangan bicara anak diletakkan pada masa anak-anak. Bicara merupakan
keterampilan mental-motorik. Berbicara tidak hanya melibatkan koordinasi
kumpulan otot mekanisme suara yang berbeda, tetapi juga mempunyai aspek mental
yakni kemampuan mengaitkan arti dengan bunyi yang dihasilkan.
Selama
tahun awal masa kanak-kanak, tidak semua bicara digunakan untuk berkomunikasi.
Pada waktu sedang bermain, anak sering kali berbicara dengan dirinya sendiri
atau dengan mainannya. Tetapi, pada saat minat untuk menjadi bagian dari
kelompok sosial berkembang, anak sebagaian besar bicara untuk berkomunikasi
dengan temannya dan hanya sewaktu-waktu berbicara sendiri.
4.
Perkembangan
emosi
Mempelajari
emosi anak-anak tergolong sulit karena informasi tentang aspek emosi yang
subjektif hanya dapat diperoleh dengan cara introspeksi, sedangkan anak-anak
tidak dapat menggunakan cara tersebut dengan baik karena anak-anak masih
berusia sangat muda. Emosi mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosial anak
karena:
a)
emosi
menambah rasa nikmat bagi pengalaman sehari-hari
b)
emosi
menyiapkan tubuh untuk melakukan tindakan
c)
ketegangan
emosi mengganggu keterampilan motorik
d)
emosi
merupakan suatu bentuk komunikasi
e)
emosi
mengganggu aktivitas mental
f)
emosi
merupakan sumber penilaian diri dan sosial
g)
emosi
mewarnai pandangan anak terhadap kehidupan
h)
emosi
mempengaruhi interaksi sosial
i)
emosi
memperlihatkan kesannya pada ekspresi wajah
j)
emosi
mempengaruhi suasana psikologis
k)
reaksi
emosional apabila diulang-ulang akan berkembang menjadi kebiasaan.
PEMBAHASAN
Bermain
dan perkembangan anak saling berkaitan/ berhubungan. Bermain adalah kegiatan
yang menyenangkan bagi anak tanpa paksaan guna mengembangkan kemampuan fisik,
kognitif, afektif, sosial emosional, moral, dan motorik. Hal ini didukung oleh
ahli-ahli seperti Plato, Aristoteles, Rousseau dan Pestalozzi, Herbart Spencer,
dan Jean Piaget, yaitu:
Plato
mencatat bahwa anak akan lebih mudah memahami aritmatika ketika diajarkan
melalui bermain. Pada waktu itu Plato mengajarkan pengurangan dan penambahan
dengan membagikan buah apel pada masing-masing anak. Kegiatan menghitung lebih
dapat dipahami oleh anak ketika dilakukan sambil bermain dengan buah apel.
Eksperimen dan penelitian ini menunjukkan bahwa anak lebih mampu menerapkan
aritmatika dengan bermain dibandingkan dengan tanpa bermain.
Aristoteles,
ia mengatakan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara kegiatan bermain anak
dengan kegiatan yang akan dilakukan anak dimasa yang akan datang. Menurut
Aristoteles, anak perlu dimotivasi untuk bermain dengan permainan yang akan
ditekuni di masa yang akan datang. Sebagai contoh anak yang bermain
balok-balokan, dimasa dewasanya akan menjadi arsitek. Anak yang suka menggambar
maka akan menjadi pelukis, dan lain sebagainya.
Rousseau
dan Pestalozzi mulai menyadari bahwa pendidikan akan lebih efektif jika
disesuaikan dengan minat anak. Pernyataan ini mendukung teori Frobel yang
mengatakan bahwa bermain sangat penting dalam belajar. Belajar berkaitan dengan
proses konsentrasi. Orang yang mampu belajar adalah orang yang mampu memusatkan
perhatian. Bermain adalah salah satu cara untuk melatih anak konsentrasi karena
anak mencapai kemampuan maksimal ketika terfokus pada kegiatan bermain dan
bereksplorasi dengan mainan. Bermain juga dapat membentuk belajar yang efektif
karena dapat memberikan rasa senang sehingga dapat menimbulkan motivasi
instrinsik anak untuk belajar. Motivasi instrinsik tersebut terlihat dari emosi
positif anak yang ditunjukkan melalui rasa ingin tahu yang besar terhadap
kegiatan pembelajaran.
Herbart
Spencer, mengemukakan bahwa anak bermain karena anak memiliki energi yang
berlebihan. Teori ini sering dikenal dengan teori Surplus Energi yang
mengatakan bahwa anak bermain (melompat, memanjat, berlari dan lain sebagainya)
merupakan manifestasi dari energi yang ada dari dalam diri anak. Bermain
menurut Spencer bertujuan untuk mengisi kembali energi seseorang anak yang
telah melemah.
Jean
Piaget, juga mengungkapkan bahwa bermain mampu mengaktifkan otak anak,
mengintegrasikan fungsi belahan otak kanan dan kiri secara seimbang dan
membentuk struktur syaraf, serta mengembangkan pilar-pilar syaraf pemahaman
yang berguna untuk masa datang. Berkaitan dengan itu pula otak yang aktif
adalah kondisi yang sangat baik untuk menerima pelajaran (Martuti, 2009:23-25).
Dari
beberapa pendapat di atas, dapat di simpulkan beberapa pengaruh bermain
terhadap perkembangan anak yaitu:
1)
Perkembangan Aspek Fisik Motorik Anak Melalui
Bermain.
Pada
saat anak bermain, terjadi perkembangan fisik motorik anak. Pada saat anak bermain,
dapat merangsang perkembangan motorik halus dan motorik kasar. Anak juga
mendapatkan sistem keseimbangan, misalnya pada saat anak melompat, atau
berayun. Anak juga berkesempatan untuk melihat dari jarak jauh yang melibatkan
koordinasi tangan dan mata. Bermain juga membuat anak merasa percaya diri,
aman, yakin secara fisik
2)
Perkembangan Aspek Kognitif Anak Melalui Bermain.
Bermain
adalah media penting dalam proses berfikir dalam memberikan pengalaman
berinteraksi dengan lingkungan. Anak akan terlatih menghadapi dan menciptakan
situasi yang nyata melalui percobaan dan perencanaan. Pada saat anak membuat
aturan bersama dengan temannya, maka pada saat itulah anak membangun pikiran
abstraknya, sehingga anak akan mendapatkan ide-ide yang lebih kreatif. Dengan
pengalaman pada saat bermain, anak juga akan membangun daya ingat mereka secara
tajam. Hal ini pula akan mendorong terhadap perkembangan bahasa untuk selanjutnya.
3)
Perkembangan Aspek Bahasa Anak Melalui Bermain.
Anak
memperoleh bahasa dengan berbagai cara yaitu dengan meniru, menyimak,
mengekspresikan, dan juga melalui bermain. Pada saat bermain, anak menggunakan
bahasanya dan mengkomunikasikan bahasanya secara efektif dengan orang lain.
Anak akan menggunakan bahasanya untuk berkomunikasi dengan temannya ataupun
sekedar menyatakan pikirannya, dan secara langsung pada saat itulah anak akan
belajar bahasa. Interaksi anak dengan lingkungan sekitar pada saat bermain,
membantu anak memperluas kosa kata dan memperoleh tata bahasa dalam
penggunaannya secara tepat.
4)
Perkembangan Aspek Sosial Anak Melalui Bermain.
Kegiatan
sosialisasi anak ketika bermain, anak akan berinterksi dengan orang lain, baik
teman sebaya, orang dewasa, atau lingkungan. Pada saat itulah anak
berkesempatan mengenal aturan sosial dan mempraktekkannya dalam interaksinya.
Hal ini akan mendorong anak belajar menghadapi perasaan-perasaan dan perilaku
teman mainnya. Mereka akan belajar berunding, menyelesaikan konflik, dan bahkan
berkompetisi. Intinya, pada saat mereka bermain, mereka akan belajar hidup
berdampingan dengan orang lain, dan mendorong munculnya persahabatan dengan
teman sebaya.
5)
Perkembangan Aspek Emosional Anak Melalui
Bermain.
Bermain
merupakan media ekspresi persaan dan ide-ide anak. Anak akan belajar menghadapi
kehidupan nyata, dan mengatur emosi perasaanya pada saat bermain. Hal ini akan
mendorong anak untuk memahami diri sendiri (self awareness).
KESIMPULAN
Kesimpulan
dari makalah ini adalah aktivitas bermain sangat mempengaruhi perkembangan
anak, baik secara fisik, motorik, bahasa, sosial, kognitif dan emosional.
Namun, aktivitas bermain hendaknya disesuaikan dengan perkembangan anak,
tujuannya adalah agar anak berkembang secara berkesinambungan. Aktivitas
bermain anak juga perlu mendapatkan pengawasan dari orang tua. Masa anak-anak
adalah masa penting dalam pertumbuhan dan perkembangannya, karena apa yang
didapat pada usia anak-anak akan terbawa saat mereka dewasa.
DAFTAR
PUSTAKA
Adang
Suherman. (2000). Dasar-dasar penjaskes.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah.
Anggani
Sudono. (2000). Sumber belajar dan alat permainan untuk PAUD. Jakarta:
Grasindo.
Bredekamp, Sue . (1992). Developmentally
appropriate practice in early childhood programs serving children from birth
through age 8, Washington: NAEYC.
Conny
R. Semiawan. (2008). Belajar dan
pembelajaran prasekolah dan sekolah dasar.
Jakarta: Indeks.
Dedi Supriadi. (2003). Pendidikan
anak usia dini dalam UU Sisdiknas, www.pikiran–rakyat.com/cetak. diakses tanggal 22 oktober 2015.
E. B. Hurlock. (1995). Psikologi perkembangan edisi ke-5. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ending
Rini Sukanti. (2007). Perkembangan
motorik. Diktat. Yogyakarta: FIK UNY.
Ermawan
Susanto. (2014). Pembelajaran akuatik
prasekolah: mengenal olahraga air sejak dini. Yogyakarta: UNY Press.
Ismatul
Khasanah, Agung Prasetyo, & Ellya Rakhawati. (2011). Permainan tradisional sebagai media stimulasi perkembangan aspek anak
usia dini. Jurnal penelitian PAUDIA, volume 1 nomor 1.
Kail,
Robert V. (2010). Children and their
development: fifth edition. USA: Pearson Prentice Hall.
Martuti.
(2009). Mendirikan dan mengelola PAUD:
manajemen administrasi & strategi pembelajaran. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Maimunah
Hasan. (2012). Pendidikan anak usia dini.
Yogyakarta: Diva Press.
Rahadjo, Budi. (2007). Aplikasi teori bermain untuk anak usia
sekolah. didaktika Vol 8, september 07.
Rani
Yulianti. (2012). Permainan yang meningkatkan kecerdasan anak. Jakarta:
Laskar Aksara
Simatupang, Nurhayati. (2005). Bermain sebagai upaya dini menanamkam aspek
sosial bagi siswa sekolah dasar. Jurnal Pendidlkan Jasmani Indonesia,
Volume 3, Nomor 1.
Suyadi.
(2014). Teori pembelajaran anak usia
dini: dalam kajian neurosains. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Syamsu
Yusuf. (2004). Psikologi perkembangan
anak dan remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tadkiroatun
Musfiroh. 2005. Bermain sambil belajar dan mengasah kecerdasan. Jakarta:
Depdiknas.
Zulvia
Trinova. (2012). Hakikat belajar dan bermain
menyenagkan bagi peserta didik. Jurnal Al-Ta’lim, Jilid 1, Nomor 3
November 2012.Padang: Universitas
IAIN Iman Bonjol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar