MEMBANGUN
SELF CONCEPT ANAK SEKOLAH DASAR
KELAS
ATAS MELALUI OLAHRAGA PERMAINAN
MENGGUNAKAN
TALI DAN CONE
Oleh:
Margi Asih, S.Pd.
ABSTRAK
Self
concept atau
konsep diri adalah segala sesuatu mengenai diri sendiri. Ketika siswa
menunjukkan pribadi yang negatif, sekolah sebagai alat bantu dengan bantuan
para guru terutama guru pendidikan jasmani, kesehatan, dan rekreasi akan
berusaha membangun konsep diri siswa yang positif. Konsep diri sangat penting untuk mendasari diri agar
nantinya siswa dapat bertingkah laku yang positif untuk kehidupan sekarang dan
yang akan datang. Manfaat konsep diri berguna untuk diri sendiri dan lingkungan
sekitar yang berupa masyarakat maupun organisasi di sekitar individu. Konsep
diri di bentuk pada siswa usia 10-13 tahun merupakan tahapan perkembangan penting dan bahkan
fundamental bagi kesuksesan perkembangan pola pikir. Pada Tahap ini anak yang sudah memiliki kemampuan koordinasi, dapat bersosialisasi, dan pemikirannya sudah logis, sehingga
pemberian permainan guna membangun self
concept tepat diberikan pada anak sekolah dasar.
Siswa sekolah dasar merupakan usia yang
sangat potensial untuk pemberian dasar pengetahuan, pengembangan konsep diri,
dan nilai-nilai moral. Karakteristik anak SD kelas atas yaitu dapat membuat
kesimpulan atau hipotesis dan kritis. Pada kurikulum pendidikan sekolah dasar,
ada pelajaran pendidikan jasmani, kesehatan, dan rekreasi. Pendidikan jasmani
merupakan media untuk mendorong perkembangan intelektual keterampilan motorik,
kemampuan fisik, pengetahuan, penalaran, penghayatan nilai, sikap, mental,
emosional, spiritual, sosial, dan pembiasaan pola hidup sehat yang bermuara
untuk merangsang pertumbuhan serta perkembangan yang seimbang. Pada kurikulum
pendidikan sekolah dasar, aspek terpenting adalah peserta didik belum diberikan
olahraga kecabangan dan hanya pada permainan. salah satu olahraga permainan
yang akan diberikan adalah olahraga permainan menggunakan tali dan cone.
Tujuan dari makalah ini membangun konsep
diri pada siswa sekolah dasar kelas atas melalui permainan menggunakan tali dan
cone. Permainan menggunakan tali dan cone dapat diberikan kepada siswa,
permainan ini akan membuat siswa merasa senang dan bahagia, dan permainan ini
mengandung nilai-nilai konsep diri sehingga permainan ini efektif diberikan
untuk memberikan pondasi konsep diri pada siswa sekolah dasar kelas atas.
Kata kunci: Self Concept, Siswa SD kelas atas,
Olahraga permainan
menggunakan tali dan cone.
menggunakan tali dan cone.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang Masalah
Pendidikan
di Indonesia terdiri dari pendidikan formal, dan non formal. Pendidikan formal
terdiri dari beberapa jenjang pendidikan yang harus ditempuh mulai dari
pendidikan dasar, pendidikan menengah pertama, dan pendidikan menengah atas.
Pendidikan dasar merupakan landasan atau dasar untuk melanjutkan kejenjang
pendidikan selanjutnya, untuk itu mutu pendidikan dasar perlu ditingkatkan dan
peningkatan itu hendaknya dilakukan secara menyeluruh. Menurut Quinn dan David Carr (2006:17) mengatakan “Building a foundation during elementary school physical education can
help develop active involvement in physical activity and contribute to lifelong
positive attitude toward fitness and sport”. Dengan demikian, pendidikan
sekolah dasar adalah jenjang pendidikan yang sangat penting sebagai pondasi
dalam pengembangan karakter. Setiap jenjang pendidikan mengacu pada
sebuah kurikulum pendidikan dalam pelaksanaannya. Pada kurikulum sekolah dasar
terdapat beberapa mata pelajaran yang akan diberikan, salah satunya adalah
Pendidikan jasmani, kesehatan, dan rekreasi. Samsudin (2008:6) dalam Febrianti
(2013:194) mengenai struktur materi pendidikan jasmani pada jenjang sekolah
dasar kelas 4-6 meliputi aktivitas pembentukan tubuh, permainan, dan modifikasi
olahraga, kecakapan, hidup di alam bebas, dan kecakapan hidup personal
(kebugaran jasmani serta pembentukan sikap dan perilaku). Pendidikan jasmani
merupakan media untuk mendorong perkembangan intelektual keterampilan motorik,
kemampuan fisik, pengetahuan, penalaran, penghayatan nilai, sikap, mental,
emosional, spiritual, sosial, dan pembiasaan pola hidup sehat yang bermuara
untuk merangsang pertumbuhan serta perkembangan yang seimbang. Menurut Kahan
(2008:30) menyebutkan physical education
is one of several content areas often thought of as peripheral subject matter,
and therefore it is often reduced or eliminated when schools give priority to
higt-stakes standardized testing of core curriculum. Tujuan pendidikan
jasmani di sekolah dasar juga mempertimbangkan adanya tujuan pembelajaran,
kemampuan siswa, metode pembelajaran, materi, sarana dan prasarana, serta
aktifitas pembelajaran. Dalam mencapai tujuan pendidikan jasmani di sekolah
dasar tersebut, guru harus terlebih dahulu membuat rencana proses pembelajaran.
Tujuan dari rencana proses pembelajaran yaitu memberikan gambaran kegiatan
pembelajaran yang akan dilaksanakan di lapangan. Pada dasarnya, proses
pembelajaran yang terlebih dahulu direncanakan akan lebih terarah dalam
pencapai tujuan. Namun, guru sering kali beranggapan bahwa kegiatan mengajar
telah dilakukan setiap hari, sehingga tidak perlu membuat rencana pembelajaran
dan proses pembelajaran terkesan apa adanya tanpa memperhatikan situasi,
kondisi, serta kebutuhan siswa. Keadaan sekolah juga mempengaruhi proses
pembelajaran di sekolah, terutama dalam hal sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana yang lengkap akan
mendukung dan memudahkan guru dalam mengajar dan siswa akan lebih mudah
menerima pembelajaran yang diberikan. Tidak semua sekolah memiliki sarana dan
prasarana yang lengkap, sehingga perlunya guru memberikan pembelajaran suatu
materi dengan tidak meninggalkan konsep dasar dari materi olahraga yang
diberikan. Hal ini juga sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hamalik (2009)
dalam Suganda (2013: 157) bahwa kedudukan guru dan fungsi guru cenderung lebih
dominan sehingga keterikatan guru dalam strategi itu tampak masih terlalu
besar, sedangkan keaktifan peserta didik masih terlalu kecil kadarnya. Gejala
ini menggambarkan penggunaan strategi masih terbatas dan implikasi keadaan ini
mengakibatkan hasil belajar peserta didik belum mencapai taraf optimal.
Peranan
guru yang memiliki inisiatif, kreatifitas, inovasi, dan dapat membuat model
pembelajaran yang menyenangkan peserta didik akan membuat tujuan pembelajaran
tercapai sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik, sehingga guru harus
mampu menyajikan rencana pembelajaran dengan model dan metode yang menarik dan
sesuai bagi peserta didik. Menurut Jumesam (2010) dalam Suganda (2013:158)
menyatakan dalam menganalisis proses belajar mengajar pada intinya tertumpu
pada suatu persoalan, yaitu bagaimana guru memberi kemungkinan peserta didik
agar terjadi proses belajar yang efektif atau dapat mencapai hasil sesuai
dengan tujuan. Persoalan ini membawa implikasi sebagai berikut: (1) guru harus
mempunyai pengetahuan tentang mengajar dan dasar-dasar teori belajar, (2) guru
harus dapat mengembangkan sistem pengajaran, (3) guru harus mampu melakukan
proses belajar mengajar yang efektif, (4) guru harus mampu melakukan penilaian
hasil belajar sebagai dasar umpan balik bagi seluruh proses yang ditempuh.
Kepribadian atau personality merupakan seperangkat asumsi
tentang kualitas tingkah laku manusia berserta definisi empirisnya (Yusuf dan
Juntika, 2007:5). Dapat dikatakan bahwa kepribadian berkaitan dengan konsep
diri, karena konsep diri adalah persepsi, keyakinan, perasaan, atau sikap
seseorang tentang dirinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Elizabeth B. Hurlock
(1986) dalam Yusuf dan Juntika (2007:7) mengemukakan bahwa pola kepribadian
merupakan suatu penyatuan struktur yang multidimensi yang terdari atas konsep
diri atau self concept sebagai inti
atau pusat gravitasi kepribadian dan traits
sebagai struktur yang mengintegrasikan kecenderungan pola-pola respons. Menurut
Ghufron dan Risnawati (2014:13), konsep diri diartikan sebagai gambaran
seseorang mengenai diri sendiri yang merupakan gabungan dari keyakinan fisik,
psikologi, sosial, emosional aspiratif, dan prestasi yang mereka capai. Pada
anak sekolah dasar seharusnya telah diberikan pembelajaran mengenai self concept, hal ini tentunya untuk
menanamkan nilai-nilai positif dalam diri siswa agar siswa tidak bertindak atau
bertingkah laku negatif. Usia siswa di sekolah dasar merupakan usia yang sangat
potensial untuk pemberian dasar pengetahuan, pengembangan konsep diri, dan
nilai-nilai moral. Pada kurikulum pendidikan sekolah dasar, aspek yang
terpenting adalah peserta didik belum diberikan olahraga kecabangan dan hanya
pada permainan. Aspek permainan mempunyai persentase terbesar daripada aspek
materi ajar lainnya. Materi permainan dan olahraga dilakukan secara
perseorangan, berpasangan, dan beregu.
Pada dasarnya anak-anak gemar bermain, bergerak,
bernyanyi dan menari, baik dilakukan sendiri maupun berkelompok. Bermain adalah
kegiatan untuk bersenang-senang yang terjadi secara alamiah. Anak tidak merasa
terpaksa untuk bermain, tetapi mereka akan memperoleh kesenangan, kanikmatan,
informasi, pengetahuan, imajinasi, dan motivasi bersosialisasi. Bermain
merupakan kegiatan yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan fisik,
sosial, emosi, intelektual, dan spiritual anak sekolah dasar. Dengan bermain
anak dapat mengenal lingkungan, berinteraksi, serta mengembangkan emosi dan
imajinasi dengan baik. Bermain memiliki fungsi yang sangat luas, seperti untuk
anak, untuk guru, orang tua dan fungsi lainnya bagi anak. Dengan bermain anak dapat
mengembangkan fisik, motorik, sosial, emosi, kognitif, daya cipta
(kreativitas), bahasa, perilaku, ketajaman pengindraan, melepaskan ketegangan,
dan terapi bagi fisik, mental ataupun gangguan perkembangan lainnya. Fungsi
bermain bagi guru dan orangtua adalah agar guru dan orang tua dapat memahami
karakter anak, jalan pikiran anak, dapat intervensi, kolaborasi dan
berkomunikasi dengan ank. Fungsi lainnya adalah rekreasi, penyaluran energi,
persiapan untuk hidup dan mekanisme integrasi (penyatuan) dengan alam sekitar.
Menurut NAEYC (National Association for The Education of Young
Children,1997), bermain merupakan alat utama belajar anak. Demikian juga pemerintah
Indonesia telah mencanangkan prinsip, “Bermain sambil belajar atau belajar
seraya bermain”. Bermain yang sesuai dengan tujuan di atas adalah bermain yang
memiliki ciri-ciri seperti: menimbulkan kesenangan, spontanitas, motivasi
darianak sendiri, dan aturan ditentukan oleh anak sendiri. Menurut Hans Daeng (dalam Andang Ismail, 2009: 17)
permainan adalah bagian mutlak dari kehidupan anak dan permainan merupakan
bagian integral dari proses pembentukan kepribadian anak.
Permainan mengajarkan nilai-nilai yang terdiri dari nilai kerjasama,
sportifitas, kejujuran, toleransi, dan percaya diri. Siswa sekolah dasar kelas
atas sudah memiliki kemampuan untuk menyimpulkan (hipotesis), sehingga anak
sekolah dasar kelas atas dapat diberikan arahan mengenai konsep diri agar
nantinya untuk kehidupan yang akan datang siswa tersebut dapat bertindak dalam
tingkah laku yang positif. Hal ini sependapat dengan Ajay (2011:572)
mengemukakan bahwa:
“Physical education plays a vital role in the
personality development of our youth. It makes them physically healty, active,
and mentally alert, and also reduces their risk for health problems. It enables
them to live in a healthy and competitive environment. It develops in them
team-work, self-discipline, sportsmanship, leadership, and socialization”.
Permasalahannya hingga saat ini, di sekolah-sekolah
terutama di sekolah dasar, kegiatan bermain masih dianggap kurang penting,
sehingga belum ada program yang terencana dan terstruktur. Pembelajaran terpadu
(tematik) yang menggabungkan beberapa bidang studi di kelas rendah belum
memasukkan unsur-unsur permainan, paling-paling kegiatan bermain disisipkan
dalam pelajaran olah raga (pendidikan jasmani). Pendidikan jasmani (Penjas)
merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara keseluruhan dan sangat
strategis digunakan untuk mendorong perkembangan kemampuan motorik, kemampuan
fisik, penalaran dan penghayatan nilai (mental, emosional, spiritual, dan
social) serta pembiasaan hidup sehat. Penjas sebagai bidang studi berorientasi
pada kebutuhan gerak siswa juga dapat diintegrasikan dengan bidang studi lain
seperti matematika, IPA, bahasa, IPS dan agama. Walau demikian pada
kenyataannya kondisi pembelajaran Penjas di sekolah-sekolah sampai saat ini
belum efektif meskipun telah dilakukan berbagai upaya pembenahan pada kurikulum
dan melalui jalur pendidikan dan pelatihan guru (Satya, 2006). Di samping
hal-hal di atas para guru Penjas juga sulit memperoleh buku rujukan yang
refresentatif dan akomodatif juga kurangnya pemahaman masyarakat terhadap
kontribusi pendidikan jasmani sebagai salah satu alat dalam mewujudkan
terbentuknya manusia seutuhnya (sehat fisik, emosi, kecerdasan serta sosial). Pada
kasus yang terjadi di Sekolah Dasar Negeri Catur Tunggal 7 kelas 5, salah satu
siswa memiliki keahlian atau berbakat pada bidang olahraga, sehingga menonjol
diantara teman-temanya. Akibatnya siswa tersebut menjadi sombong dan paling
hebat, sehingga teman-temannya tidak menyukai siswa tersebut. Dari kasus ini
dapat dilihat bahwa tanpa pembekalan konsep diri yang baik, anak akan cenderung
bertindak atau bertingkah laku tidak baik. Permasalahan selanjutnya adalah
sebagian dari siswa sekolah dasar telah bertingkah laku layaknya orang dewasa,
baik dari segi pakaian dan cara bicara. Selain itu, masih banyak siswa yang
bertingkah laku negatif karena mengikuti apa yang di lihat, ditonton, dan
didengar. Hal ini dapat terjadi tentu adanya pengaruh dari dalam dan luar
individu, baik dari kurangnya pengawasan orang tua, lingkungan, hingga media
massa dan media sosial. Diharapkan dengan memberikan olahraga permainan pada
anak sekolah dasar mampu memberikan arahan dan menanamkan konsep diri pada diri
siswa. Salah satu permainan yang akan diberikan adalah olahraga permainan
menggunakan tali dan cone. Tali dan cone adalah suatu benda yang sering
dilihat dan lazim digunakan, sehingga siswa akan mudah untuk berinteraksi
menggunakan kedua benda tersebut. Tali dan cone
pada dasarnya dapat dikembangkan dengan beragam dan variasi kegiatan gerak dan
permainan yang menyenangkan bagi siswa. Dengan demikian, siswa akan dapat
bergerak dengan aktif, bermain dengan senang, dan terlaksananya penyampaian
nilai-nilai konsep diri melalui permainan.
Dari uraian di atas,
dapat dikatakan bahwa konsep diri sangat penting untuk mendasari diri agar
nantinya dapat bertingkah laku yang positif. Konsep diri adalah apa yang
dirasakan dan dipikirkan mengenai dirinya sendiri, sehingga untuk membina dan
membentuk konsep diri siswa anak sekolah dasar kelas atas dapat dilakukan
melalui olahraga permainan tali dan cone.
2.
Identifikasi
Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah antara lain:
1)
kegiatan bermain masih dianggap kurang
penting, sehingga belum ada program yang terencana dan terstruktur.
2)
Proses pembelajaran pendidikan jasmani,
kesehatan, dan rekreasi dengan metode permainan yang mengandung nilai konsep
diri masih terbatas.
3)
Guru Penjas juga sulit memperoleh buku
rujukan yang refresentatif dan akomodatif.
4)
Banyaknya siswa yang bertingkah laku
seperti orang dewasa, yang seharusnya hal itu belum terjadi.
5)
Kurangnya pemahaman guru terhadap
perkembangan siswa disekolah.
6)
Kurangnya pemahaman siswa terhadap
nilai-nilai konsep diri.
7)
Minimnya variasi permainan yang
diberikan guru terhadap siswa mengenai konsep diri.
8)
Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap
kontribusi pendidikan jasmani sebagai salah satu alat dalam mewujudkan
terbentuknya manusia seutuhnya (sehat fisik, emosi, kecerdasan serta sosial).
3.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah dan identifikasi masalah di atas, dapat dirumuskan suatu
permasalahan yaitu: “Bagaimana peranan permainan menggunakan tali dan cone dalam membangun self concept siswa sekolah dasar kelas
atas?”.
4.
Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran dan
pandangan bagi pembaca dalam memberikan permainan yang dapat membangun konsep
diri atau self concept pada anak
sekolah dasar kelas atas.
5.
Manfaat
Penulisan
Manfaat atas penulisan makalah ini
adalah memberikan penjelasan dan pemahaman mengenai permainan menggunakan tali
dan cone berkaitan dengan nilai-nilai
konsep diri, sehingga makalah ini dapat dijadikan referensi untuk membangun self concept pada siswa sekolah dasar
kelas atas melalui permainan tali dan cone.
BAB
II
KAJIAN
TEORI
1.
Self Concept
Dalam bukunya yang
terkenal Principles of Psychology,
William james (1890) mengemukakan diri (self)
adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan orang tentang dirinya sendiri, bukan
hanya tentang tubuh dan keadaan psikisnya sendiri, melainkan juga tentang anak,
istri/suami, rumah, pekerjaan, nenek moyang, teman-teman, milik, uang dan
lain-lain. Menurut Yusuf dan Juntika (2007:7), self concept dapat diartikan sebagai: (a) persepsi, keyakinan,
perasaan, atau sikap seseorang tentang dirinya; (b) kualitas pensifatan
individu tentang dirinya; dan (c) suatu sistem pemaknaan individu dan pandangan
orang lain tentang dirinya. Konsep diri diartikan sebagai gambaran seseorang
mengenai diri sendiri yang merupakan gabungan dari keyakinan fisik, psikologi,
social, emosional aspiratif, dan prestasi yang mereka capai (Ghufron dan
Risnawati, 2014:13). Dengan demikian dapat disimpulkan konsep diri adalah
segala sesuatu yang mengenai diri sendiri.
Konsep diri atau self concept merupakan faktor yang
sangat menentukan dalam komunikasi interpersonal, karena setiap siswa akan
bertingkah laku sesuai dengan konsep dirinya. Jika siswa memiliki konsep diri
yang baik, maka dalam kehidupan selanjutnya siswa akan bertingkah laku baik
begitu juga sebaliknya. Konsep diri pada
anak tidak tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, tetapi konsep diri dapat
tumbuh dan berkembang dengan adanya interaksi beberapa element. Menurut Yusuf
dan Juntika (2007:9), perkembangan self
concept dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti harapan orang tua, kondisi fisik, kematangan
biologis, dampak media, tuntutan, pengalaman ajaran agama, masalah ekonomi keluarga,dan
hubungan dalam keluarga. Fokus pembahasan makalah ini terdapat pada kondisi
fisik, beberapa hasil penelitian menyebutkan seseorang yang memiliki kondisi
fisik yang baik, maka akan dapat dengan mudah mengembangkan dirinya baik secara
inteligensi maupun sikap. Permainan yang dilakukan anak-anak selain memberikan
kesegaran jasmani juga akan memberikan pemikiran positif, dimana anak
mendapatkan kesenangan, kebahagiaan. Tentunya ini akan mempengaruhi psikologis
anak. Harapannya dengan diberikan permainan yang menyenangkan, anak dapat
menanamkan nilai-nilai moral yang didapat melalui permainan untuk
diimplementasikan dalam kehidupannya, sehingga anak dapat memiliki self concept yang positif. Berikut
gambar faktor-faktor yang mempengaruhi self
concept yaitu:
|
|||
E.B Hurlock (1986) dalam Yusuf dan
Nurihsan (2007:12-14) mengemukakan bahwa karakteristik penyesuaian yang sehat
atau kepribadian yang sehat (healthy
personality) ditandai dengan:
1)
Mampu menilai diri secara realistik.
2)
Mampu menilai situasi secara realistik.
3)
Mampu menilai prestasi yang diperoleh
secara realistik.
4)
Menerima tanggung jawab.
5)
Kemandirian.
6)
Dapat mengontrol emosi.
7)
Berorientasi tujuan.
8)
Penerimaan sosial.
9)
Memiliki filsafat hidup.
10)
Berbahagia.
Adapun kepribadian yang tidak sehat
ditandai dengan karakteristik seperti berikut.
1)
Mudah marah dan tersinggung.
2)
Menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan.
3)
Sering merasa tertekan (stress atau
depresi).
4)
Bersikap kejam atau senang mengganggu
orang lain.
5)
Ketidakmampuan untuk menghindar dari
perilaku menyimpang meskipun sudah diperingati atau dihukum.
6)
Mempunyai kebiasaan berbohong.
7)
Hiperaktif.
8)
Senang mencemooh orang lain.
9)
Sulit tidur.
10)
Kurang memiliki rasa tanggung jawab.
11)
Kurang memiliki kesadaran untuk mentaati
ajaran agama.
12)
Bersikap pesimis.
13)
Kurang bergairah atau kurang
bersemangat.
Husdarta
(2010:94) menyebutkan seseorang memiliki konsep diri positif dan negatif dalam
dirinya. Adapun ciri negatif meliputi: (a) peka terhadap kritikan, (b)
responsit sekali terhadap pujian, (c) hiperkritis, (d) cenderung merasa tidak
disenangi orang lain, dan (e) pesimis terhadap kompetisi. Ciri positif
meliputi: (a) yakin akan kemampuannya dalam menghadapi masalah, (b) merasa
setara dengan orang lain, (c) menerima pujian tanpa merasa malu, (d) menyadari
bahwa setiap orang memiliki berbagai perasaan, dan (e) mampu memperbaiki
dirinya.
Memahami
konsep diri sangatlah penting, karena dengan pemahaman konsep diri yang benar
seseorang akan dapat lebih mengetahui dirinya sendiri dan belajar untuk lebih
menerima dirinya. Hal ini juga akan membuat individu tidak mudah kehilangan
arah perjalanan hidup, tidak mudah terpengaruh, dan apabila terpaksa melakukan
suatu perubahan tidak akan membuat dirinya menjadi shock karena perubahan yang terjadi. Dengan menanamkan self concept pada diri anak melalui
permainan akan sangat efektif, hal ini didukung oleh pendapat Hans Daeng (dalam Andang Ismail, 2009: 17) permainan
adalah bagian mutlak dari kehidupan anak dan permainan merupakan bagian
integral dari proses pembentukan kepribadian anak.
Permainan adalah suatu bentuk aktivitas jasmani yang menyenangkan. permainan
yang diberikan berupa permainan tali dan cone. Kedua benda tersebut dipilih
karena keberadaanya yang sudah sangat lazim dilihat oleh anak-anak. Hal ini
tentu akan memudahkan interaksi siswa dalam mengikuti permainan yang diberikan
dengan harapan penanaman konsep diri dalam permainan akan tersampaikan secara
sederhana, sehingga mudah untuk dipahami oleh siswa sekolah dasar kelas atas.
2.
Karakteristik
Anak Sekolah Dasar Kelas Atas
Karakteristik
pertumbuhan dan perkembangan anak sangat penting diketahui untuk menentukan
aktivitas jasmani atau olahraga yang akan diberikan pada anak usia sekolah
dasar. Anak sekolah dasar kelas atas pada umumnya berusia 10-13 tahun yang
merupakan periode perkembangan akhir masa kanak-kanak. Pada usia tersebut merupakan tahapan
perkembangan penting dan bahkan fundamental bagi kesuksesan perkembangan
selanjutnya. Karena itu, guru tidaklah mungkin mengabaikan kehadiran dan
kepentingan mereka. Ia akan selalu dituntut untuk memahami betul karakteristik
anak, arti belajar dan tujuan kegiatan belajar bagi mereka di sekolah dasar.
The
nation policy on education (1998) dalam Orunaboka (2011:140)
menyebutkan “institution for children
normally aged 6-11+. The document rightly observed that since the test of the
education system is built upon it, the primary education is key to the success
or failure of the whole educational system in any nation of the world”.
Menurut Hurlock (1978:38) pada masa akhir masa kanak-kanak adalah periode di
mana terjadi kematangan seksual dan masa remaja dimulai. Perkembangan utama
pada masa ini adalah adanya sosialisasi. Menurut Piaget (Hergenhan & Olson, 2014:320) sekitar umur 10-12 tahun anak memasuki formal operationsyang ditandai dengan
bisa menangani situasi hipotesis dan proses berpikir mereka tidak lagi
tergantung hanya pada hal-hal yang langsung dan riil. Pemikiran anak pada tahap
ini sudah semakin logis. Menurut Sukintaka (1979:93) pada anak tingkat
umur10-12 tahun mereka telah menjadi lebih bersifat kritis, terutama terhadap
prestasi dan kemampuannya berprestasi. Pada masa ini, anak-anak cenderung
teliti dan pendiriannya berubah dari yang objektif ke arah subjektif. Hal
ini sependapat dengan Saputra (2001:17) berpendapat pada anak usia 10-13 tahun,
anak sudah dapat menentukan pilihannya akan cabang olahraga yang disukai, dan
secara umum anak usia 10-13 tahun sudah memiliki kemampuan dalam koordinasi dan
kelincahan yang jauh lebih baik dibanding anak-anak yang berusia dibawahnya.
Dari
pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa anak sekolah dasar usia 10-13 tahun merupakan tahapan perkembangan
penting dan bahkan fundamental bagi kesuksesan perkembangan selanjutnya. Pada
usia 10-13 tahun anak yang sudah memiliki
kemampuan koordinasi, mengalami
kematangan seksual, bisa bersosialisasi, dan pemikirannya sudah logis,
sehingga pemberian permainan guna membangun self
concept tepat diberikan pada anak sekolah dasar kelas atas.
3.
Pendidikan
Jasmani, Kesehatan, dan Rekreasi
Dalam proses
pembelajaran pendidikan jasmani, guru diharapkan mengajarkan berbagai
keterampilan gerak dasar, internalisasi nilai-nilai seperti sportivitas, kejujuran, keberanian,
kerja sama, tanggung jawab, dan nilai-nilai lainnya. Pendidikan jasmani
merupakan media untuk mendorong perkembangan keterampilan motorik, kemampuan
fisik, pengetahuan, penalaran, penghayatan nilai, dan pembiasan pola hidup
sehat. Menurut Douer dan Pangrazi (1989:1) dalam Rahayu (2013:3), pendidikan
Jasmani adalah fase dari Program pendidikan keseluruhan yang memberikan
kontribusi, terutama melalui pengalaman gerak, untuk pertumbuhan dan
perkembangan secara utuh untuk tiap siswa. Pendidikan jasmani didefinisikan
sebagai pendidikan dan melalui gerak dan harus dilaksanakan dengan cara tepat
agar memiliki makna bagi siswa. Pendidikan jasmani merupakan pembelajaran yang
memberikan perhatian yang proporsional yang memadai pada domain-domain
pembelajaran, yaitu psikomotor, kognitif, dan afektif. Menurut Rahayu (2013:7),
pendidikan jasmani adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani
yang direncanakan secara sistematik bertujuan untuk mengembangkan dan
meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler,
perseptual, kognitif, dan emosional, dalam kerangka system pendidikan nasional.
Pendidikan jasmani dan olahraga adalah suatu kegiatan mendidik anak dengan
proses pendidikan melalui aktivitas jasmani dan olahraga (Paturusi, 2012:5).
Dengan demikian dapat disimpulkan, pendidikan jasmani adalah proses pendidikan
untuk mendidik, mengembangkan nilai-nilai, meningkatkan keterampilan anak
melalui aktivitas jasmani yang direncanakan.
Pendidikan jasmani pada
hakikatnya adalah proses pendidikan memanfaatkan aktivitas fisik dan olahraga
guna menghasilkan perubahan kualitas individu, baik secara fisik, mental, dan
emosional. Proses pembelajaran pendidikan jasmani meliputi domain kognitif,
afektif, dan psikomotor. Hal ini dilakukan agar terjadi keseimbangan baik
secara fisik, ,mental, dan emosional pada diri anak. Berikut adalah gambar
pedoman pembelajaran pendidikan jasmani dan olahraga.
4.
Olahraga
Permainan
Pengertian
bermain sangatlah unik dan deskriptif. Permainan merupakan aktivitas yang menyenangkan dan mendominasi pada kurikulum sekolah
dasar. Games (including
sports) are a from of structured activities played according to a specific rule
set (Chunlei, 2009:180). Menurut Quinn dan David Carr (2006:17)
mengatakan bahwa:
“The game is the best teacher, and children
will enjoy physical education because they get to play every day, while their
skill, tactical awareness, problem-solving ability, and fitness level improve
dramatically”.
Permainan anak-anak menurut Sukintaka (1979:89) adalah permainan yang
mempunyai peraturan sederhana, mudah dimengerti, mudah dilaksanakan, hingga
akan mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan anak. Menurut Froebel dalam Wawan (2009), hakikat permainan adalah
kegiatan yang paling murni, yang paling spiritual dari manusia karena permainan
memberikan kesenangan, kebebasan, kepuasan, ketenangan lahir batin dan
perdamaian dengan dunia. Menurut Saputra (2001:6) mengatakan bermain adalah
kegiatan yang menyenangkan. Menurut Hans
Daeng (dalam Andang Ismail, 2009: 17) permainan adalah bagian mutlak dari
kehidupan anak dan permainan merupakan bagian integral dari proses
pembentukan kepribadian anak. Moyles (1991) menegaskan bahwa
bermain adalah suatu proses yang diperlukan baik oleh anak-anak maupun orang
dewasa.
Bermain merupakan
proses pembelajaran yang melibatkan pikiran, persepsi, konsep, kemahiran sosial
dan fisik. Menurut Rebecca Isbell dalam bukunya The Complete Learning Center
Book, “Play is Children’s Work and Children Want to Play”, dalam bermain, anak-anak mengembangkan
keahlian memecahkan masalah dengan menggunakan berbagai cara untuk melakukan
sesuatu dan menentukan pendekatan terbaik. Dalam bermain anak-anak menggunakan
bahasa untuk melakukan kegiatan mereka, memperluas dan memperbaiki bahasa
mereka sambil berbicara dengan anak lainnya. Ketika bermain, mereka belajar
tentang orang lain selain dirinya dan mereka mencoba berbagai peran dan
menyesuaikan diri saat bekerjasama dengan orang lain. Bermain membentuk
perkembangan anak pada semua bagian: intelektual, sosial, emosional dan fisik (Isbell
dalam Satya, 2006).
Dari pendapat
beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan permainan adalah untuk memperoleh kesenangan, kebebasan,
dan kepuasan lahir dan batin yang dilaksanakan dengan peraturan yang sederhana,
mudah dimengerti, dan mudah dilaksanakan
dengan tujuan untuk perkembangan dan pertumbuhan anak.
Permainan dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk. Yoyo Bahagia (2000: 22-30)
mengklasifikasikan permainan menjadi lima bentuk yaitu:
a.
Permainan sentuh (tag games)
Bentuk permainan
yang sederhana untuk mengembangkan dasar-dasar strategi. Tujuan permainan ini
adalah untuk bergerak, mengubah arah, dan mengecoh yang bertujuan agar dapat
menyentuh lawan, menghindari sentuhan lawan. Contoh permainan sentuh adalah
kucing-kucingan, galah asin, dan lain-lain.
b.
Permainan target (target games)
Bentuk permainan
akurasi penyampaian objek pada sasaran atau target. Tujuan permainan ini adalah
akurasi penyampaian objek pada sasaran. Keterampilan yang digunakan pada
umumnya keterampilan close skill.
Contoh permainan target adalah bowling, golf, panahan, memukul,
menendang, melompat, dan melempar bola pada target.
c.
Permainan net dan dinding (net and wall games)
Sebuah permainan
yang melibatkan kemampuan bergerak dan mengendalikan objek agar susah dimiliki
atau dikembalikan lawan. Pemain harus mampu mengandalikan daerahnya dan
bergerak di dalam daerahnya untuk menempatkan diri pada posisi strategis yang
dapat menghalau kembalian pukulan lawan. Contoh permainan net dan dinding
adalah tenis, tenis meja, badminton, bola voli, sepaktakraw, squash,dan lain sebagainya.
d.
Permainan serangan (invansion games)
Permainan ini
memfokuskan perhatiannya pada pengendalian objek pada daerah tertentu seperti
permainan merebut bola. Permainan ini sangat kompleks, satu tim berusaha
mengendalikan objek atau bola bergerak menuju ke sasaran seperti membuat gol,
menyerang lawan, melewati lawan, dan bertahan dari lawan. Contoh permainan
serangan adalah futsal,
sepakbola, softball, rugby, American
football, dan lain sebagainya.
e.
Permainan lapangan (fielding games)
Permainan ini
menggunakan sebuah objek yang dikirimkan pada sebuah tempat tertentu dan
pengirim berusaha lari ke tempat tertentu dan bahkan terus berlari sampai
kembali lagi ke tempat semula sebelum pemain penangkap objek dapat menangkapnya
dan mengirimkannya lagi ke tempat semula. Contoh permainan lapangan ini adalah
kasti, bola bakar, softball, baseball, dan
sebagainya.
Dalam makalah ini
permainan yang digunakan adalah permainan target (target game). Target game
dipilih karena permainan yang akan diberikan kepada anak sekolah dasar kelas
atas adalah permainan yang memiliki target sasaran berupa tali dan cone. Permainan yang akan diberikan
tidak hanya sebuah permainan tanpa adanya nilai-nilai psikologis. Setiap
permainan yang diberikan memiliki sasaran nilai-nilai psikologis, berupa
sportivitas, kerjasama, tanggung jwab, optimis, percaya diri, pengontrolan
emosi, dan lain-lain. Harapannya nilai-nilai sasaran dalam permainan akan
memberikan dampak pada diri anak, agar anak memiliki self concept yang baik sehingga self
concept ini akan terus tertanam pada diri anak hingga dewasa.
5.
Permainan
Menggunakan Tali dan Cone
Sebelum
memberikan permainan yang mengandung nilai-nilai konsep diri, guru harus
memahami mengenai kerakter siswa guna menyeimbangkan proses membangun konsep
diri siswa. Menurut Weinberg dan Gould, D (2005:46), cara memahami karakter
siswa yaitu: (a) Consider both
personality traits and situations, (b) Be
an informed consumer, (c) Be a good
communicator, (d) Be a good obsever,
dan (e) Be knowledgeable about mental
strategies. Setelah memahami mengenai pengertian konsep diri, startegi
memahami karakter siswa, dan karakteristik anak sekolah dasar kelas atas, guru
dapat memberikan bentuk olahraga permainan menggunakan tali dan cone. Permainan menggunakan tali dan cone dipilih karena dalam penggunaanya
tidak mengandung resiko yang berbahaya bagi siswa. Faktor keselamatan atau safety merupakan tinjauan yang sangat
penting dalam memberikan permainan pada anak sekolah dasar. Tentunya apabila
anak mengalami suatu kejadian yang membahayakan keselamatannya, siswa akan
merasa trauma dan perkembangannya
akan mengalami hambatan/gangguan. Setiap permainan yang diberikan kepada siswa
harus mengandung nilai-nilai moral, agar nilai-nilai moral yang terkandung
dalam permainan akan lebih mudah dipahami oleh siswa selain kesenangan dalam
bermain. Permainan sangat membantu dalam membangun konsep diri dari siswa untuk
memberikan dampak positif terutama dalam bertingkah laku. Berikut adalah
olahraga permainan yang akan diberikan guna membangun konsep diri siswa sekolah
dasar kelas atas yang di adopsi dari Faruq (2009), permainan pengembangan
kecerdasan kinestetika anak dengan
media tali dan meningkatkan kecerdasan kinestetika melalui 70 permainan dengan cone yaitu:
Olahraga
permainan menggunakan tali yaitu:
1) Permainan 1: melompat tali dengan
dua kaki
Dilakukan
secara perorangan pada lapangan yang datar, untuk meminimalisir terjadinya
cidera pada anak yang melakukan lompat tali dengan kedua kaki. Cara melakukan
permainan ini adalah siswa akan diberikan tali sepanjang 2 meter, pegang dengan
kuat kedua ujung tali tersebut, kemudian letakkan bagian tengah tali dibelakang
kedua kaki. Mulai dengan menggerakkan tali dari belakang diayunkan ke atas
kemudian ke depan melewati atas kepala dan ketika tali akan menyentuh ujung
kaki maka segera melompat dengan kedua kaki lalu diikuti dengan menekukkan
kedua lutut. Lakukan secara berulang-ulang hingga mencapai 10 lompatan. Sasaran
permainan ini adalah mengembangkan daya tahan, keberanian melakukan lompatan,
mengembangkan koordinasi tangan dan kaki, meningkatkan sportivitas dalam
penghitungan jumlah lompatan, kejujuran, dan mampu memperbaiki diri ketika
salah melakukan lompatan.
2) Permainan 2: melemparkan tali ke
udara dan menangkapnya kembali
Anak
mengambil posisi berdiri dengan sikap sempurna dan kedua kaki sedikit dibuka
lebar agar badan berada dalam keseimbangan yang maksimal. Cara memainkan
permainan ini adalah pegang tali dengan satu tangan dan keadaan tali di gulung
kecil kemudian dilemparkan ke atas setinggi-tingginya dan sebelum tali turun
menyentuh tanah maka tali harus segera ditangkap. Jika tidak dapat menangkap
tali yang dilemparkan ke atas, maka akan mendapatkan hukuman berupa menyanyikan
lagu-lagu wajib, seperti Indonesia raya, padamu negeri, ibu kartini, dan
lain-lain. Sasaran dalam permainan ini adalah mengembangkan kekuatan lengan,
membantu mengembangkan keseimbangan kecepatan reaksi dan koordinasi tangan
kaki, mengembangkan sikap bertanggung jawab terhadap lemparan, sportivitas,
berani mengakui kesalahan ketika tidak dapat menangkap lemparan tali, dan
mengembangkan sikap optimis dapat melakukan lemparan dan menangkapnya sebelum
tali menyentuh tanah.
3) Permainan 3: bergerak bersama di
dalam satu lingkaran tali
Permainan
ini dilakukan secara berkelompok, tiap kelompok terdiri atas 6 siswa. Cara
melakukan permainan ini adalah tali yang di ikat ujung dan ujungnya kemudian
membentuk lingkaran. Siswa-siswa akan berdiri di dalam lingkaran tali tersebut
dengan saling membelakangi, siswa harus dapat bergerak dari tempat start menuju tempat finish dengan posisi melingkari tali. Tali tidak boleh putus atau
jatuh menyentuh tanah, sehingga setiap siswa harus mampu bekerjasama agar dapat
menyampai finish dengan tali tetap melingkar. Sasaran dalam permainan ini
adalah mengembangkan kerja sama kelompok, yakin akan kemampuannya untuk
menyelesaikan tantangan, sportivitas, kejujuran, menyadari setiap siswa
memiliki perasaan, dan mengembangkan rasa percaya diri bahwa masing-masing
mampu melakukan permainan.
4) Permainan 4: saling tarik menarik
tali lurus di depan dada
Permainan
ini dilakukan oleh dua anak yang saling berhadapan dengan jarak sekitar 3-4
meter. Cara bermain permainan ini yaitu tali dipegang dengan kuat, kedua tangan
lurus ke depan sambil memegang tali dan mulailah saling menarik tali dengan
kuat dengan hitungan satu sampai delapan. Artinya saling tarik dengan kuat
selama hitungan tersebut dimulai sampai selesai. Lakukan sampai tiga kali
sehingga bisa merasakan hasilnya di lengan atas dan bawah serta bahu. Sasaran
dalam permainan ini adalah mengembangkan kekuatan tangan dan lengan serta bahu,
mengembangkan keseimbangan dan daya tahan, menghilangkan sifat egois dan ingin
selalu menang karena aktivitas ini bukan untuk menentukan kalah menang tetapi
lebih kepada efek-efek yang diperoleh dan kerja sama serta saling percaya.
5) Permainan 5: menarik teman yang
terbaring menggunakan tali
Permainan ini
dilakukan berpasangan. Aturan permainan ini yaitu anak berdiri dan pasangannya
tiduran, kemudian salah satu anak menarik pasangannya yang tiduran tersebut. Gunakan
tali untuk menarik pasangannya tersebut dengan cara anak-anak sendiri. Anak
bisa menentukan sendiri siapa yang menjadi penarik dan siapa yang berbaring di
lantai. Aturan keselamatan saat permainan adalah pada saat melakukan tarikan
pastikan yang menarik dan yang ditarik sama-sama siap, bukan tiba-tiba menarik
pasangan sehingga menyebabkan salah satu pasangan itu kaget atau menyebabkan
salah satu merasa sakit. Sasaran dalam
permainan ini adalah mengembangkan kekuatan kaki dan tangan, mengembangkan sikap
saling percaya pada teman dan kerjasama, meningkatkan komunikasi, meningkatkan
kepercayaan diri untuk menyelesaikan tantangan, dan mendorong sikap kreativitas
anak dalam menyelesaikan tantangan.
Olahraga
permainan menggunakan cone yaitu:
1) Permainan 1: membentuk piramida
dengan media cone
Permianan
ini dilakukan secara perorangan. Cara memainkan permainan ini adalah; cone diletakkan menyebar atau acak dalam
sebuah garis yang membentuk persegi panjang dengan panjang 5 meter dan lebar 3
meter. Siswa harus mampu membuat piramida dengan jumlah cone sebanyak 15 buah.
Sasaran permainan ini adalah untuk merangsang otak dalam berpikir membuat
piramida, mengembangkan kemampuan berpikir,kreativitas anak, mengembangkan rasa
percaya diri, mampu melakukan dan bertanggung jawab atas piramida yang dibuat,
dan yakin akan kemampuannya untuk menyelesaikan penyusunan piramida.
2) Permainan 2: membawa cone di atas kepala
Permainan ini
dilakukan secara perorangan. Cara permainan ini adalah cone yang disediakan sebanyak 3 buah. Cone harus dibawa dari garis starts
menuju ke garis finish dengan
diletakkan di atas kepala dan tangan tidak boleh menyentuh cone. Siswa dibebaskan dalam membawa cone baik dengan langkah panjang ataupun langkah pendek. Sasaran
dalam permainan ini adalah siswa dapat mengembangkan keseimbangan badan,
kontrol emosi atas benda yang berada di kepalanya, rasa percaya diri, dan
keyakinan akan mampu melakukan permainan dengan baik.
3) Permainan 3: melindungi cone
Permainan
ini dilakukan secara berkelompok, masing-masing kelompok beranggotankan 5
orang. Setiap kelompok diberikan 5 cone
dengan warna yang berbeda-beda, masing-masing anak memegang satu cone. Cara bermain permainan ini adalah:
dua kelompok yang bermain akan melakukan undian, kelompok yang menang akan
melindungi cone dan kelompok yang
kalah akan berusaha untuk mengambil cone
yang dilindungi. Cone diletakkan di
tengah lingkaran berdiameter 2 meter. Kelompok pemenang akan berdiri
menggelilingi lingkaran untuk menjaga cone,
agar cone tidak diambil oleh kelompok
kalah. Jika cone dapat diambil oleh
kelompok kalah maka yang memegang cone
atas warna yang diambil kelompok kalah, maka kelompok menang yang memegang cone warna tersebut tidak dapat bermain
lagi. Sasaran dalam permainan ini adalah mengembangkan kerja sama kelompok
untuk saling melindungi cone,
mengembangkan sportivitas dan kejujuran, bertanggung jawab atas tugas yang
diberikan, keyakinan mampu melindungi cone,
dan mengontrol emosi ketika menghadapi kekalahan ataupun kemenangan.
4) Permainan 4: Menutup mata
menggunakan kain dalam mengambil cone
Permainan
ini dilakukan secara berpasangan. Cara bermain pada permainan 4 ini yaitu cone akan diletakkan sembarang oleh
guru, misalnya di tengah ruangan dan pinggir ruangan. Guru akan memberikan
aba-aba untuk memulai mencari cone
yang diletakkan dalam suatu ruangan. Salah satu anak akan ditutup matanya
menggunakan kain dan satu anak lagi akan memberikan petunjuk arah mengenai
letak cone tersebut. Setelah anak
mendapatkan cone, anak belum boleh
membuka penutup mata hingga mencapai garis finish. Aturan keselamatan mengenai
permainan ini, perlunya dilakukan dalam suatu ruangan yang bebas hambatan.
Artinya anak dapat bergerak dalam suatu ruangan tanpa harus khawatir akan
mencederai dirinya sendiri. Sasaran dalam permainan ini adalah anak akan
mendapatkan banyak pengalaman gerak, mengembangkan pemahaman keruangan bagi
dirinya sendiri (self space awareness),
mengembangkan daya ingat (long term
memories), mengembangkan ketepatan (accuracy), mengembangkan daya tahan (endurance), meningkatkan kerja sama
dalam tim (time work), meningkatkan
rasa kepercayaan diri dan keyakinan diri (self
confidence), sikap saling menghargai dalam tim, siswa mampu mengontrol
emosi, dan memberikan kesenangan pada diri siswa (happiness).
5) Permainan 5: melewati cone dengan mata tertutup
Permainan
ini dilakukan secara berpasangan. Cara bermain dalam permainan 5 yaitu anak
yang tertutup matanya menggunakan kain akan berusaha mencapai finish dengan tidak menginjak cone yang telah diletakkan sesuai jalur,
dan teman dalam pasangannya akan memberikan instruksi untuk melakukan hal
terbaik agar tidak menginjak cone.
Jika anak menginjak cone maka anak
akan mendapatkan hukuman berupa menyayikan lagu wajib untuk menanamkan jiwa
nasionalisme. Aturan keselamatan dalam permainan ini perlunya dilakukan dalam
suatu ruangan yang bebas hambatan. Artinya anak dapat bergerak dalam suatu
ruangan tanpa harus khawatir akan mencederai dirinya sendiri. Pada saat
melakukan aktivitas gerak ini harus dilakukan pemastian apakah teman sudah siap
atau belum dalam satu kelompok. Hal ini perlu dipastikan mengingat faktor
keselamatan dalam permainan ini sangat penting. Sasaran dalam permainan ini
yaitu mengembangkan kemampuan membuat strategi dalam kelompok (strategy), anak
akan mendapatkan banyak pengalaman gerak, mengembangkan pemahaman keruangan
bagi dirinya sendiri (self space awareness),
mengembangkan daya ingat (long term
memories), mengembangkan ketepatan (accuracy), mengembangkan daya tahan (endurance), meningkatkan kerja sama
dalam tim (time work), meningkatkan
rasa kepercayaan diri dan keyakinan diri (self
confidence), sikap saling menghargai dalam tim, siswa mampu mengontrol
emosi, dan memberikan kesenangan pada diri siswa (happiness).
BAB
III
PEMBAHASAN
Self concept atau konsep diri adalah
segala sesuatu mengenai diri sendiri. Ketika siswa menunjukkan sikap yang
negatif, pada dasarnya tidak ada perhatian dan kasih saying terhadap orang lain
diluar dirinya sendiri. Siswa yang memiliki konsep diri negatif hanya memeperhatikan
dirinya sendiri sepenjang waktu, tidak pernah merasa puas, selalu takut
kehilangan sesuatu, takut tidak diakui, iri terhadap teman yang memiliki
kelebihan. Keadaan ini berakar pada ketidaksenangan pada diri sendiri. Sekolah
merupakan wadah bagi siswa untuk mengembangkan self concept dengan bantuan para guru terutama guru pendidikan
jasmani, kesehatan, dan rekreasi untuk berusaha membangun konsep diri siswa
yang positif. Hal ini perlu dilakukan agar siswa dapat bertindak atau
bertingkah laku positif demi menjadi pribadi yang baik. Dari beberapa
identifikasi mengenai banyaknya siswa yang memiliki konsep diri negatif,
perlunya dilakukan treatment atau latihan. Latihan yang baik untuk anak sekolah
dasar kelas atas sesuai dengan karakteristik dan kurikulum adalah menggunakan
permainan. Hal ini sependapat dengan
Hans Daeng (dalam Andang Ismail, 2009: 17) permainan adalah bagian mutlak dari
kehidupan anak dan permainan merupakan bagian integral dari proses
pembentukan kepribadian anak.
Siswa sekolah dasar kelas atas telah mampu melakukan hipotesa atau
menduga kesimpulan pada tingkatannya, kritis, dan mampu beradaptasi dengan
baik. Menurut Sukintaka (1979:93)
pada anak tingkat umur10-12 tahun mereka telah menjadi lebih bersifat kritis,
terutama terhadap prestasi dan kemampuannya berprestasi.
Menurut Piaget (Hergenhan & Olson, 2014:320) sekitar umur 10-12 tahun anak memasuki formal operationsyang ditandai dengan
bisa menangani situasi hipotesis dan proses berpikir mereka tidak lagi
tergantung hanya pada hal-hal yang langsung dan real. Dapat disimpulkan bahwa pemberian
konsep diri tepat dilakukan pada anak Sekolah Dasar kelas atas.
Proses
pembelajaran pendidikan jasmani, kesehatan, dan rekreasi dengan metode
permainan yang mengandung nilai konsep diri atau self concept masih terbatas, hal ini ditandai dengan kurangnya
pemahaman guru terhadap perkembangan siswa, kurangnya pemahaman siswa terhadap
nilai-nilai konsep diri, dan minimnya variasi permainan yang diberikan,
sehingga penulis berusaha untuk memberikan kontribusi pemahaman mengenai
permainan yang dapat diberikan kepada siswa dengan tidak menghilangkan
nilai-nilai konsep diri. Permainan yang akan diberikan menggunakan tali dan cone, hal ini dilakukan karena tali dan cone adalah suatu benda yang sering
dilihat dan lazim digunakan, sehingga siswa akan mudah untuk berinteraksi
menggunakan kedua benda tersebut. Faktor keselamatan menjadi point penting
dalam pemberian permainan pada anak, karena jika anak mengalami sesuatu hal
yang mengancam keselamatannya anak akan cenderung mengalami trauma dan akan
berakibat pada terhambatnya perkembangan motorik anak serta nilai konsep diri
tidak akan tertanam pada diri anak secara baik.
Penggunaan tali dan cone pada dasarnya dapat dikembangkan
dengan beragam dan variasi kegiatan gerak dan permainan yang menyenangkan bagi
siswa. Bentuk-bentuk permainan yang akan diberikan mengadopsi dari dari Faruq
(2009), permainan pengembangan kecerdasan kinestetika anak dengan media tali
dan meningkatkan kecerdasan kinestetika melalui 70 permainan dengan cone. Bentuk permainan yang diberikan
mengadopsi dari buku pengembangan kinestetik anak, karena anak yang memiliki
kecerdasan kinestetik memiliki kemampuan untuk menggabungkan antara fisik dan
pikiran mampu memperkuat rasa kepercayaan diri pada diri anak. Disampaikan
Suyadi (2014:132), anak yang memiliki keterampilan mengkoordinasikan pikiran
dan organ tubuh dalam bentuk berbagai gerakan, mampu memperkuat rasa percaya
diri, daya optimisme dalam meraih keberhasilan, serta mampu mengembangakan
kecerdasan emosionalnya. Berikut adalah bentuk-bentuk permainan menggunakan
tali dan cone.
Permainan menggunakan tali:
1)
Melompat tali dengan dua kaki
2)
Melemparkan tali ke udara dan
menangkapnya kembali
3)
Bergerak bersama di dalam satu lingkaran
tali
4)
Saling tarik menarik tali lurus di depan
dada
5) Menarik
teman yang terbaring menggunakan tali
Permainan menggunakan cone:
1)
Membentuk piramida dengan media cone
2)
Membawa cone di atas kepala
3)
Melindungi cone
4) Menutup
mata menggunakan kain dalam mengambil cone
5) Melewati
cone dengan mata tertutup
Semua permainan yang diberikan kepada
siswa mengandung nilai-nilai konsep diri. Pada awal sebelum proses pembelajaran
dimulai, guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan menjelaskan permainan yang akan
diberikan. Hal ini bertujuan untuk memberikan pemahaman siswa terhadap apa yang
akan dipelajari. Selama proses pembelajaran siswa akan mendapatkan bimbingan
dari guru, untuk meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan seperti mencegah
cedera pada siswa dan penyampaian nilai konsep diri yang tidak sesuai. Pada
akhir masing-masing permainan, siswa yang tidak dapat menyelesaikan target game akan diberikan hukuman.
Hukuman yang diberikan berupa menyanyi lagu-lagu wajib di depan teman-teman.
Hukuman yang diberikan untuk menanamkan nilai tanggung jawab pada diri siswa.
Harapan dari pemberian permainan yang mengandung nilai konsep diri pada siswa
Sekolah Dasar kelas atas adalah untuk membangun konsep diri siswa agar
bertindak atau bertingkah laku positif dan agar siswa dapat mengimplementasikan
untuk kehidupan berikutnya.
BAB
IV
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Usia
siswa di sekolah dasar merupakan usia yang sangat potensial untuk pemberian
dasar pengetahuan, pengembangan konsep diri, dan nilai-nilai moral. Konsep diri
adalah merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi interpersonal,
karena setiap siswa akan bertingkah laku sesuai dengan konsep dirinya. Jika
siswa memiliki konsep diri yang baik, maka dalam kehidupan selanjutnya siswa
akan bertingkah laku baik begitu juga sebaliknya.
Konsep diri tidak
berkembang dengan sendirinya, tetapi berkembang dengan adanya interaksi dengan
individu yang lain dan lingkungan sosial. Pada kurikulum pendidikan sekolah
dasar, ada pelajaran pendidikan jasmani, kesehatan, dan rekreasi. Pendidikan
jasmani merupakan media untuk mendorong perkembangan intelektual keterampilan
motorik, kemampuan fisik, pengetahuan, penalaran, penghayatan nilai, sikap,
mental, emosional, spiritual, sosial, dan pembiasaan pola hidup sehat yang bermuara
untuk merangsang pertumbuhan serta perkembangan yang seimbang. Namun, pada
pembelajaran pendidikan jasmani, kesehatan, dan rekreasi aspek yang terpenting
adalah peserta didik belum diberikan olahraga kecabangan dan hanya pada
permainan. Permainan merupakan media penyampaian gerak dasar keterampilan dan
penyampaian nilai-nilai moral. Permainan menggunakan tali dan cone dapat diberikan kepada siswa,
karena faktor resiko cedera sangat kecil, permainan ini akan membuat siswa
merasa senang dan bahagia, dan permainan ini mengandung nilai-nilai konsep
diri.
Dengan demikian dapat
disimpulkan dari hasil pembahasan mengenai permainan tali dan cone yang
diberikan kepada anak sekolah dasar kelas atas dengan didukung beberapa hasil
penelitian dan teori yang terkait, bahwa permainan menggunakan tali dan cone efektif diberikan untuk memberikan
pondasi self concept pada anak sekolah dasar kelas atas.
DAFTAR
PUSTAKA
Ajay. (2011). Importance
of physical education, games, & sports activities. India: International
Journal vol 2 (11), 2011, 570-573.
Bredekamp, Sue & Copple. (1997).
Developmentally appropriate in early childhood program. Woshington: National association for the education of
young children.
Chunlei. (2009). Specifics
for teneralists: teaching elementery physical education. Canada: Brock
University. International Electronic Journal of Elementery Education. Vol
1. Issue 3. 2009.
Faruq, M Muhyi. (2009). Meningkatkan kecerdasan kinestetik melalui 70 permainan dengan cone.
Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana.
Faruq, M Muhyi. (2009). Permainan pengembangan kecerdasan kinestetika anak dengan media tali.
Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana.
Febrianti, Rima. (2013). Pengembangan materi atletik melalui permainan atletik three in one
untuk siswa SD kelas V. Semarang: PPS
UNNES. Journal of Physical Education and Sports. 2-1-2013.
Ghufron, Nur dan Rini Risnawati. (2014). Teori-teori psikologi. Yogyakarta:
Ar-ruzz media.
Hergenhahn,
B.R., Olso, M.H. (2014).Theories of leaning (teori belajar) edisi ketujuh. Jakarta: Prenadamedia
Group.
Hurlock,
E.B. (1978). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan.Jakarta:
Erlangga.
Husdarta. (2010). Psikologi
olahraga. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Ismail,
andang. (2009). Education Games: Pemanduan praktis permainan yang menjadi anak
anda cerdas, kreatif, dan sholeh.Yogyakarta:Proumedia
Kahan, David.
(2008). Recess, extracurricular
activities, and active classrooms: means for increasing elementary school
students physical activity. Journal
of Physical Education, Recreation and Dance. 79. 2. ProQuess pg.26. 2008.
Moyles, Janet R.
(1999). Just Playing : The Role and Status of Play in Early Chillhood
Education. Philadhelpia : Open University Press.
Orunaboka.
(2011). The teaching of physical
education in primary school as the foundation of sports development.Nigeria:
Journal of Physical Education and Sport. Pp 138-141.2011.
Paturusi,
Achmad. (2012). Manajemen pendidikan
jasmani dan olahraga. Jakarta: Rineka Cipta.
Quinn,
Ronald dan David Carr. (2006). Developmentally
approprite soccer activities for elementary school children. Journal of
Physical Education, Recreation, and Dance. JOPERD. Volume 77 No 5. 2006.
Rahayu,
Ega Trisna. (2013). Strategi pembelajaran
pendidikan jasmani. Bandung: Alfabeta.
Saputra, Yudha. (2001). Pembelajaran atletik di Sekolah Dasar:
sebuah pendekatan pembinaan gerak dasar melalui permainan. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah Bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Olahraga.
Satya,
Wira Indra. (2006). Membangun Kebugaran Jasmani dan Kecerdasan Melalui
Bermain, Depdiknas, Dirjen Dikti, Direktorat Ketenagaan.
Suganda,
Mikkey Anggara & Suharjana. (2013). Pengembangan
model pembelajaran bolavoli pada siswa sekolah dasar kelas atas.
Yogyakarta: PPS Universitas Negeri Yogyakarta. Jurnal Keolahragaan, volume 1 – Nomor 2.
Sukintaka
dkk. (1979). Permainan dan metodik buku
II untuk SGO. Jakarta: Depdikbud.
Wawan.
(2009). Hakikat permainan dan pengertian
permainan. Diambil pada tanggal 28 Februari 2015, dari http://kangwawantea.blogsport.com.
Weinberg,
R.S dan Gould, D. 2005. Foundations of
sport and exercise psychology. Champaign,iL: Human Kinetucs.
Yoyo
Bahagia dan Adang Suherman. (2000). Prinsip-prinsip
pengembangan dan modifikasi cabang olahraga. Jakarta: Depdikbud.
Yusuf,
Syamsu dan Juntika Nurihsan. (2007). Teori
kepribadian. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar